Saat ini, di kalangan guru, senantiasa berdengung istilah pembelajaran inovatif. Di mana-mana, inovatif menjadi barang yang diburu guru untuk diketahui, dipelajari, dan dipraktikkan di kelas. Seolah-olah, tanpa inovatif, dunia guru tidak harum namanya. Sebenarnya, pembelajaran inovatif itu apa?
Inovatif
(innovative) yang berarti new ideas or techniques, merupakan kata sifat dari
inovasi (innovation) yang berarti pembaharuan, juga berasal dari kata kerja
innovate yang berarti make change atau introduce new thing (ideas or
techniques) in oerder to make progress. Pembelajaran, merupakan terjemahan dari
learning yang artinya belajar,atau pembelajaran. Jadi, pembelajaran inovatif
adalah pembelajaran yang dikemas oleh pebelajar atas dorongan gagasan barunya
yang merupakan produk dari learning how to learn untuk melakukan
langkah-langkah belajar, sehingga memperoleh kemajuan hasil belajar.
Pembelajaran
inovatif juga mengandung arti pembelajaran yang dikemas oleh guru atau
instruktur lainnya yang merupakan wujud gagasan atau teknik yang dipandang baru
agar mampu memfasilitasi siswa untuk memperoleh kemajuan dalam proses dan hasil
belajar.
Berdasarkan
definisi secara harfiah pembelajaran inovatif tersebut, tampak di dalamnya
terkandung makna pembaharuan. Gagasan pembaharuan muncul sebagai akibat
seseorang merasakan adanya anomali atau krisis pada paradigma yang dianutnya
dalam memecahkan masalah belajar. Oleh sebab itu, dibutuhkan paradigma baru
yang diyakini mampu memecahkan masalah tersebut. Perubahan paradigma seyogyanya
diakomodasi oleh semua manusia, karena manusia sebagai individu adalah makhluk
kreatif. Namun, perubahan sering dianggap sebagai pengganggu kenyamanan
diri,karena pada hakikatnya seseorang secara alamiah lebih mudah terjangkit
virus rutinitas.
Padahal, di
dalam pendidikan, banyak kalangan mengakui bahwa pekerjaan rutin cenderung
tidak merangsang, membuat pendidikan ketinggalan zaman, dan akan mengancam
eksistensi negara dalam perjuangan dan persaingan hidup. Rutinitas kinerja
dapat bersumber dari beberapa faktor yang dianggap menghambat inovasi.
Faktor-faktor yang dapat dikategorikan sebagai penghambat inovasi, adalah:
keunggulan inovasi relatif sulit untuk dijelaskan dan dibuktikan, sering
dianggap time dan cost consumming, pelaksanaan cenderung partial, complexity
innovation sering menghantui orang untuk diam di jalan rutinitas, dan
simplification paradigm dalam innovation dissemination berpotensi mengurangi
keyakinan dan pemahaman bagi para praktisi terhadap inovasi.
Inovasi
pembelajaran muncul dari perubahan paradigma pembelajaran. Perubahan paradigma
pembelajaran berawal dari hasil refleksi terhadap eksistensi paradigma lama
yang
mengalami anomali menuju paradigma baru yang dihipotesiskan mampu memecahkan
masalah. Terkait dengan perkuliahan di perguruan tinggi, paradigma pembelajaran
yang dirasakan telah mengalami anomali, adalah (1) kecenderungan guru untuk
berperan lebih sebagai transmiter, sumber pengetahuan, mahatahu, (2) kuliah
terikat dengan jadwal yang ketat, (3) belajar diarahkan oleh kurikulum,
(4)kecenderungan fakta, isi pelajaran, dan teori sebagai basis belajar, (5)
lebih mentoleransi kebiasaan latihan menghafal, (6) cenderung kompetitif, (7)
kelas menjadi fokus utama, (8) komputer lebih dipandang sebagai obyek, (9)
penggunaan media statis lebih mendominasi, (10) komunikasi terbatas, (11)
penilaian lebih bersifat normatif. Paradigma tersebut diduga kurang mampu
memfasilitasi siswa untuk siap terjun di masyarakat.
Paradigma
pembelajaran yang merupakan hasil gagasan baru adalah (1) peran guru lebih
sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan, dan kawan belajar, (2) jadwal
fleksibel,terbuka sesuai kebutuhan, (3) belajar diarahkan oleh siswa sendiri,
(4) berbasis masalah,proyek, dunia nyata, tindakan nyata, dan refleksi, (5)
perancangan dan penyelidikan, (6)kreasi dan investigasi, (7) kolaborasi, (8)
fokus masyarakat, (9) komputer sebagai alat,(10) presentasi media dinamis, (11)
penilaian kinerja yang komprehensif. Paradigma pembelajaran tersebut diyakini
mampu memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kecakapan hidup dan siap terjun
di masyarakat.
Dalam proses
pembelajaran, paradigma baru pembelajaran sebagai produk inovasi
seyogyanya
lebih menyediakan proses untuk mengembalikan hakikat siswa ke fitrahnya
sebagai
manusia yang memiliki segenap potensi untuk mengalami becoming process dalam
mengembangkan kemanuasiaanya. Oleh sebab itu, apapun fasilitas yang dikreasi
untuk memfasilitasi siswa dan siapapun fasilitator yang akan menemani siswa
belajar, seyogyanya bertolak dari dan berorientasi pada apa yang menjadi tujuan
belajar siswa. Tujuan belajar yang orisinal muncul dari dorongan hati (mode =
inrtinsic motivation).
Paradigma
pembelajaran yang mampu mengusik hati siswa untuk membangkitkan mode
mereka
hendaknya menjadi fokus pertama dalam mengembangkan fasilitas belajar.
Paradigma hati tersebut akan membangkitkan sikap positif terhadap belajar,
sehingga
siswa siap
melakukan olah pikir, rasa, dan raga dalam menjalani ivent belajar.
Marzano et
al (1993), memformulasi dimensi belajar menjadi lima tingkatan, (1)sikap dan
persepsi yang positif terhadap belajar, (2) perolehan dan pengintegrasian
pengetahuan baru, (3) perluasan dan penyempurnaan pengetahuan, (4) penggunaan
pengetahuan secara bermakna, dan (5) pembiasakan berpikir efektif dan
produktif. Lima
dimensi
belajar tersebut akan terinternalisasi oleh siswa apabila mereka mampu
melakukan oleh pikir, rasa, dan raga dalam belajar yang semuanya bersumber dari
dorongan
hati yang paling dalam. Asas quantum teaching (Bobbi de Porter et
al.,2001;Bobbi dePorter,2000)yang menyatakan:“bawalah dunia mereka ke dunia
kita dan hantarkan dunia kita ke dunia mereka”, mungkin perlu diterjemahkan
oleh para guru dalam mengembangkan fasilitas belajar yang mampu mengusik hati
siswa untuk lebih bertanggung jawab terhadap belajarnya. Kompetensi tanggung
jawab merupakan salah satu kompetensi sikap yang potensial dalam membangun
kompetensi-kompetensi lainya,
seperti
berpikir kreatif-produktif, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, belajar
bagaimana
belajar, kolaborasi, pengelolaan dan/atau pengendalian diri.
Kompetensikomepetensi tersebut mutlak diperlukan oleh siswa agar mampu menjadi
manusia yang adatable, flexible, dan versatil dalam segala aspek kehidupan yang
senantiasa berubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar