Sabtu, 13 Juli 2013

Tiga Siswa Autisme Asal Indonesia Lulus SMA di AS

Sebuah survei pemerintah terhadap orangtua di Amerika menunjukkan bahwa satu dari 50 anak sekolah di AS mengidap autisme, melebihi perkiraan semula atas penyakit tersebut.

Para pejabat bidang kesehatan mengatakan jumlah tersebut tidak berarti autisme terjadi lebih sering. Namun, hal ini menunjukkan bahwa para dokter lebih sering mendiagnosis autisme, terutama pada anak-anak dengan masalah yang lebih ringan.

Estimasi pemerintah sebelumnya menunjukkan jumlah satu dari 88 berasal dari sebuah studi yang oleh banyak pihak dianggap lebih detail. Studi tersebut mengacu pada catatan medis dan sekolah dibandingkan bergantung pada orangtua.

Selama berpuluh tahun, autisme berarti anak-anak dengan gangguan bahasa, intelektual dan sosial yang parah, serta perilaku yang tidak biasa dan berulang. Namun definisi tersebut berangsung-angsur berkembang dan sekarang mencakup kondisi-kondisi yang lebih ringan dan terkait.

Halo Friends! Ini dia, Rama, Keken dan Gery. Mereka belum lama ini lulus SMA dari sebuah sekolah di Amerika. Untuk mereka bertiga, bisa menyelesaikan sekolah seperti anak-anak pada umumnya merupakan suatu kebanggaan yang luar biasa, karena ketiganya merupakan murid yang memiliki masalah autisme.

Berkat bantuan Yayasan Bina Abyakta yang bekerjasama dengan “The Learning Community Internasional School (TLCI)”, mereka dan anak-anak yang memiliki masalah autism dapat memperoleh pelajaran di bidang Matematika, Sains dan Bahasa Inggris.

(sumber : http://www.suaramerdeka.tv/view/video/34444/tiga-siswa-autisme-asal-indonesia-lulus-sma-di-as)

Catatan Penting :

Pendidikan adalah salah satu hal yang sangat fundamental dalam membangun negeri menjadi lebih baik. Oleh karena itu dibutuhkan pendidikan yang merata bagi seluruh warga negara Indonesia. Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bagi anak istimewa (anak autisme) dalam memperoleh pendidikan. Karena hal ini sesuai dengan UUD 1945 hasil amandemen pasal 31 ayat 1 ” Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”

Sekolah umum wajib menerima anak yang berkebutuhan khusus, baik anak yang mempunyai kelainan fisik, mental, sosial, ataupun anak berbakat bawaan atau mendadak, termasuk anak autis, dengan catatan, anak tersebut sudah siap didik dan siap latih. Bila ada sekolah yang menolak anak yang berkebutuhan khusus, maka dapat dikenakan sanksi, seperti yang tercantum dalam Pasal 77 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penolakan tersebut juga dapat dilaporkan kepada Badan Perlindungan Anak, Dinas Pendidikan atau Dinas Sosial.

( http://www.law.yale.edu/rcw/rcw/jurisdictions/asse/indonesia/Indon_Child_Prot.htm )

Jumat, 12 Juli 2013

MENCIPTAKAN SUASANA BELAJAR YANG MENYENANGKAN

Kegiatan belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh keadaan ketika proses tersebut berlangsung. Suasananya sangat mempengaruhi. Saya yang juga sebagai guru harus bisa menciptakan suasana yang menyenangkan agar murid tetap belajar dengan ceria. Ketika murid sudah senang, maka mereka akan belajar dengan sukacita dan tidak khawatir karena takut dimarahi guru ketika tidak bisa mengerjakan soal dengan baik.
 
Dari pengalaman saya mengajar, saya menemukan beberapa hal yang membuat siswa itu menjadi tertarik dalam belajar. Berikut akan saya coba rangkum beberapa hal yang telah saya lakukan ketika mengajar.

1. Humoris

Murid sangat senang dengan hal-hal lucu dan bisa membuat mereka tertawa. Ketika mereka tertawa maka mereka menjadi semakin antusias dalam belajar. Kita bisa memberikan lelucon sederhana yang membuat mereka senang. Bisa dengan menceritakan hal-hal lucu, film lucu dan menarik yang banyak disukai anak. Ini bisa dilakukan ketika anak sudah mulai bosan belajar, isilah dengan cerita lucu. Anda bisa mencari bahan sendiri di internet dan ceritakanlah hal lucu tersebut. Ajak mereka ketawa selama kurang lebih 5 menit. Setelah mereka terlihat senang, maka kita bisa kembali mengajar mereka.

2. Jadilah figur yang ramah dan menyenangkan

Anak paling tidak suka dengan guru yang pemarah dan suka membentak. Ketika mereka dimarahi, maka anak akan takut dan bahkan tidak mungkin mereka tidak mau belajar lagi karena sering dimarah guru. Murid sangat senang diperhatikan, jadi ketika mereka tidak bisa tuntunlah dengan baik dan buat mereka sadar bahwa mereka itu bisa mengerjakan dengan baik. Marah tentu tidak baik bagi seorang guru. Ketika saya marah, saya merasakan kepala saya sakit dan perasaan tidak tenang. Ketika saya mencoba sabar, semuanya menjadi lebih baik. Perasaan saya senang dan muridpun lebih enak dalam menerima penjelasan kita.

3. Senyum
Senyum membuat kita sebagai guru semakin disukai oleh anak-anak. Karena dari senyum kita, anak tahu bahwa kita itu ada untuk mereka. Dan bahkan tidak jarang anak sering cerita tentang kesukaan mereka dan juga hal-hal yang mereka sukai. Senyum membuat segalanya lebih baik.

PENDEKATAN DALAM BELAJAR MENGAJAR


Dalam kegiatan belajar mengajar baik di sekolah ataupun di luar sekolah sangat diperlukannya interaksi antara guru dan murid yang memiliki tujuan. Agar tujuan ini dapat tercapai sesuai dengan target dari guru itu sendiri, maka sangatlah perlu terjadi interaksi positif yang terjadi antara guru dan murid. Dalam interaksi ini, sangat perlu bagi guru untuk membuat interaksi antara kedua belah pihak berjalan dengan menyenangkan dan tidak membosankan. Hal ini selain agar mencapai target dari guru itu sendiri, siswa juga menjadi menyenangkan dalam kegiatan belajar mengajar, serta lebih merasa bersahabat dengan guru yang mengajar.
 Pendekatan Pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.
Guru yang memandang anak didik sebagai pribadi yang berbeda dengan anak didik lainnya akan berbeda dengan guru yang memandang anak didik sebagai makhluk yang sama dan tidak ada perbedaan dalam segala hal. Maka adalah penting meluruskan pandangan yang keliru dalam menilai anak didik. Sebaiknya guru memandang anak didik sebagai individu dengan segala perbedaan, sehingga mudah melakukan pendekatan dalam pengajaran. Ada beberapa pendekatan yang diajukan dalam pembicaraan ini dengan harapan dapat membantu guru dalam memecahkan berbagai masalah dalam kegiatan belajar mengajar. Berikut ini adalah penjelasannya :
  1. I.       Macam-macam Pendekatan Pembelajaran
  2. Pendekatan Individual
Pendekatan individual merupakan pendekatan langsung dilakukan guru terhadap anak didiknya untuk memecahkan kasus anak didiknya tersebut. Pendekatan individual mempunyai arti yang sangat penting bagi kepentingan pengajaran. Pengelolaan kelas sangat memerlukan pendekatan individual ini. Pemilihan metode tidak bisa begitu saja mengabaikan kegunaan pendekatan individual, sehingga guru dalam melaksanakan tugasnya selalu saja melakukan pendekatan individual terhadap anak didik di kelas. Persoalan kesulitan belajar anak lebih mudah dipecahkan dengan menggunakan pendekatan individual, walaupun suatu saat pendekatan kelompok diperlukan.

  1. Pendekatan Kelompok
Pendekatan kelompok merupakan pendekatan yang dilakukan guru dengan cara mengelompokkan anak didiknya sesuai dengan kriterianya demi tercapainya kegiatan belajar mengajar. Ketika guru ingin menggunakan pendekatan kelompok, maka guru harus sudah mempertimbangkan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan tujuan. Fasilitas belajar pendukung, metode yang akan dipakai sudah dikuasai, dan bahan yang akan diberikan kepada anak didik memang cocok didekati dengan pendekatan kelompok. Karena itu, pendekatan kelompok tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi harus mempertimbangkan hal-hal lain yang ikut mempengaruhi penggunaannya.
  1. Pendekatan Klasikal
          Pengajaran klasikal merupakan kegiatan mengajar yang tergolong efisien. Secara ekonomis, pembiayaan kelas lebih murah yaitu ada batas jumlah minimum siswa yang pada umumnya tiap kelas berkisar dari 10 – 45 orang. Pembelajaran kelas berarti melaksanakan dua kegiatan sekaligus, yaitu : (i) Pengelolaan kelas, dan (ii) Pengelolaan pembelajaran. Pengelolaan kelas adalah penciptaan kondisi yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan belajar dengan baik. Pengelolaan kelas dapat terjadi masalah yang bersumber dari kondisi tempat belajar dan siswa yang terlibat dalam belajar. Fasilitas belajar yang rusak serta adanya gangguan dari sekelompok siswa merupakan salah satu sumber masalah dalam pembelajaran.
Pengelolaan pembelajaran bertujuan mencapai tujuan belajar. Tekanan utama pembelajaran adalah seluruh anggota kelas. Di samping penyusunan desain instruksional yang dibuat, maka pembelajaran kelas dapat dilakukan dengan tindakan sebagai berikut: penciptaan tertib belajar dikelas, penciptaan suasan tenang dalam belajar, pemusatan perhatian pada bahan ajar dan mengikutsertakan siswa belajar aktif, dan pengorganisasian belajar sesuai dengan kondisi siswa.
  1. Pendekatan Bervariasi
Ketika guru dihadapkan kepada permasalahan anak didik yang bermasalah, maka guru akan berhadapan dengan permasalahan anak didik yang bervariasi. Setiap masalah yang dihadapi oleh anak didik tidak selalu sama, terkadang ada perbedaan. Permasalahan yang dihadapi oleh setiap anak didik biasanya bervariasi, maka pendekatan yang digunakan pun akan lebih tepat dengan pendekatan bervariasi pula. Misalnya, anak didik yang tidak disiplin dan anak didik yang suka berbicara akan berbeda pemecahannya dan menghendaki pendekatan yang berbeda-beda pula. Demikian juga halnya terhadap anak didik yang membuat keribuatan. Guru tidak bisa menggunakan teknik pemecahan yang sama untuk memecahkan permasalahan yang lain. Kalaupun ada, itu hanya pada kasus tertentu. Perbedaan dalam teknik pemecahan kasus itulah dalam pembicaraan ini didekati dengan “pendekatan bervariasi”.
  1. Pendekatan Edukatif
Apa pun yang guru lakukan dalam pendidikan dan pengajaran dengan tujuan untuk mendidik, bukan karena motif-motif lain, seperti dendam, gengsi, ingin ditakuti dan sebagainya.
Anak didik yang telah melakukan kesalahan, yakni membuat keributan di kelas ketika guru sedang memberikan pelajaran, misalnya, tidak tepat diberikan sanksi hukum dengan cara memukul badannya hingga luka atau cidera. Ini adalah tindakan sanksi hukum yang tidak bernilai pendidikan. Guru telah melakukan pendekatan yang salah. Guru telah menggunakan teori power, yakni teori kekuasaan untuk menundukkan orang lain. Dalam pendidikan, guru akan kurang arif dan bijaksana bila menggunakan kekuasaan, karena hal itu bisa merugikan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak didik. Pendekatan yang benar bagi guru adalah dengan melakukan pendekatan edukatif adalah setiap tindakan, sikap, dan perbuatan yang guru lakukan harus bernilai pendidikan, dengan tujuan untuk mendidik anak didik agar menghargai norma hukum, norma susila, norma moral, norma sosial dan norma agama.
  1. Pendekatan Keagamaan
Khususnya untuk mata pelajaran umum, sangat berkepentingan dengan pendekatan keagamaan. Hal ini dimaksudkan agar nilai budaya ilmu itu tidak sekuler, tetapi menyatu dengan nilai agama. Dengan penerapan prinsip-prinsip mengajar seperti prinsip korelasi dan sosialisasi, guru dapat menyisipkan pesan-pesan keagamaan untuk semua mata pelajaran umum. Tentu saja guru harus menguasai ajaran-ajaran agama yang sesuai dengan mata pelajaran yang dipegang. Misalnya: surah Yasiin ayat 34 dan 36 adalah bukti nyata bahwa pelajaran biologi tidak bisa dipisahkan dari ajaran agamanya. Akhirnya pendekatan agama dapat membantu guru untuk memperbaiki kerdilnya jiwa agama di dalam diri siswa, yang pada akhirnya nilai-nilai agama tidak dicemoohkan dan dilecehkan, tetapi diyakini, dipahami, di hanyati dan di amalkanselama hayat siswa di kandung badan.
  1. Pendekatan Kebermaknaan
Bahasa adalah alat untuk menyampaikan dan memahami gagasan, pikiran, pendapat dan perasaan, secara lisan maupun tulisan. Bahasa Inggris adalah bahasa asing pertama di Indonesia yang dianggap penting untuk tujuan penyerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya dan pembinaan hubungan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Dalam rangka penguasaan bahasa Inggris tidak bisa mengabaikan masalahpendekatan yang harus digunakan dalam proses belajar mengajar. Kegagalan penguasaan bahasa Inggris oleh siswa, salah satu sebabnya adalah kurang tepatnya pendekatan yang digunakan oleh guru selain faktor lain seperti faktor sejarah, fasilitas dan lingkungan serta kompetensi guru itu sendiri. Hal ini perlu dipecahkan, salah satu alternatif ke arah pemecahan masalah tersebut diajukanlah pendekatan baru, yaitu pendekatan kebermaknaan.
  1. II.    Model Pembelajaran berdasarkan Teori-teori Belajar
    1. Model Interaksi Sosial
Model ini menitikberatkan pada hubungan antara individu dengan masyarakat atau dengan individu lainnya. Fokusnya kepada proses realita. Model ini berorientasi pada prioritas terhadap perbaikan kemampuan (abilitas) individu dalam berinteraksi dengan orang lain, perbaikan proses-proses demokratis dan perbaikan masyarakat.
Dalam model ini tercakup beberapa jenis strategi pembelajaran, yaitu:
1)      Kerja kelompok; tujuannya adalah untuk mengembangkan keterampilan dalam bermasyarakat dengan cara mengembangkan hubungan interpersonal, dan keterampilan menemukan dalam bidang akademik.
2)      Pertemuan kelas; tujuannya untuk mengembangkan pemahaman mengenai diri sendiri maupun terhadap kelompok.
3)      Pemecahan masalah social atau inquiry social; bertujuan untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah-masalah social dengan cara berpikir logis dan penemuan akademik.
4)      Model laboratorium; bertujuan untuk mengembangkan kesadaran pribadi dan keluwesan dalam kelompok.
5)      Model pengajaran yurisprudensi; bertujuan untuk melatih kemampuan mengolah informasi dan memecahkan masalah social dengan cara berpikir yurisprudensi.
6)      Bermain peranan; bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa menemukan nilai-nilai social dan pribadi melalui situasi tiruan.
7)      Simulasi sosial; bertujuan untuk membantu siswa mengalami berbagai kenyataan social serta menguji reaksi mereka.
  1. Model Proses Informasi
Model ini didasarkan pada belajar kognitif, berorientasi pada kemampuan siswa dalam memproses informasi dan sistem-sistem yang dapat memperbaiki kemampuan tersebut. Model ini berkenaan dengan kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan berpikir produktif, serta berkenaan dengan kemampuan intelektual umu (general intellectual ability).
Beberapa strategi pembelajaran dalam model proses informasi, diantaranya:
1)      Mengajar induktif; bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan membentuk teori.
2)      Latihan inquiry; tujuannya pada prinsipnya sama dengan strategi mengajar induktif, perbedaannya terletak pada segi proses mencari dan menemukan informasi yang diperlukan.
3)      Inquiry keilmuan; bertujuan untuk mengajarkan sistem penelitian dalam disiplin ilmu, dan diharapkan memperoleh pengalaman dalam bagian-bagian lainnya.
4)      Pembentukan konsep; bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir induktif, mengembangkan konsep dan kemampuan analisis.
5)      Model pengembangan; bertujuan untuk mengembangkan kecerdasan umum terutama berpikir logis, disamping untuk mengembangkan aspek sosial dan moral.
6)      Advanced organizer model; bertujuan untuk mengembangkan kemampuan memproses informasi yang efisien untuk menyerap dan menghubungkan satuan ilmu pengetahuan (bodies of knowledge) secara bermakna.
  1. Model Personal
Model pembelaaran ini berorientasi pada individu dan pengembangan diri. Titik beratnya adalah pada pembentukan pribadi individu yang tertuju pada kehidupan emosionalnya. Model ini diharapkan dapat membantu individu untuk mengembangkan hubungan yang produktif dengan lingkungannya, dan menjadikannya sebagai pribadi yang mampu membentuk hubungan-hubungan dengan pribadi lain dalam konteks yang lebih luas serta mampu memproses informasi secara efektif.
Model pembelajaran personal terdiri dari empat strategi pembelajaran, yaitu:
1)      Pengajaran non direktif; bertujuan untuk membentuk kemampuan dan perkembangan pribadi yaitu kesadaran diri (self awareness), pemahaman (understanding), otonomi, dan konsep diri (self concept).
2)      Latihan kesadaran; bertujuan untuk meningkatkan kemampuan self exploration dan self awareness. Titik beratnya pada perkembangan interpersonal.
3)      Sinektik; bertujuan untuk mengembangkan kreativitas pribadi dan pemecahan masalah secara kreatif.
4)      Sistem konseptual; bertujuan untuk meningkatkan kompleksitas dasar pribadi yang luwes.
  1. Model Modifikasi Tingkah Laku
Model pembelajaran ini bertitik tolak dari teori belajar behavioristik. Model tersebut bermaksud mengembangkan sistem-sistem yang efisien untuk mengurut tugas-tugas belajar dan membentuk tingkah laku dengan cara memenipulasi penguatan (reinforcement). Para eksponen teori reinforcement telah mengembangkan model-model dan operabt conditioning sebagai mekanisme sentral. Para eksponen tersebut seringkali menunjuk kepada teori modifikasi tingkah laku yang menitik beratkan pada perubahan tingkah laku eksternal siswa sebagai visible behavior lebih dari tingkah laku yang mendasarinya. Operant conditioning telah diterapkan daam bidang pendidikan dan bidang-bidang lainnya, misalnya bidang kemiliteran, disampaikan dalam berbagai model yang berbentuk media-oriented, seperti: pengajaran berprograma, interactive teaching, dan micro teaching.
III. Pendekatan CBSA dalam Pembelajaran
  1. Pengertian CBSA
CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran yang menitikberatkan pada keaktifan siswa. Dalam CBSA, kegiatan belajar diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan, seperti: mendengarkan, berdiskusi, membuat sesuatu, menulis laporan, memecahkan masalah, memberikan gagasan/ide, menyusun rencana, dan sebagainya. Disini peran guru bukan sebagai orang yang menuangkan materi pelajaran kepada siswa. Siswa yang aktif, guru hanya memberikan fasilitas belajar, bantuan dan pelayanan.
  1. Kebaikan dan Kelemahan CBSA
Kebaikan-kebaikan CBSA sebagaimana dikemukakan oleh T. Raka Joni:
  1. Prakarsa siswa dalam kegiatan belajar, yang ditujukan melalui keberanian memberikan pendapat tanpa secara eksklusif diminta misalnya didalam diskusi-diskusi, mengemukakan usul dan saran didalam pendekatan tujuan atau cara kerja kegiatan belajar, kesediaan mencari alat atau sumber dan lain sebagainya.
  2. Keterlibatan mental siswa didalam kegiatan-kegiatan belajar yang telah berlangsung yang ditujukan dengan peningkatan diri kepada tugas kegiatan. Baik secara intelektual maupun secara emosional yang dapat diamati dalam bentuk perhatian serta pikiran siswa dengan tugas yang telah dihadapi serta komitmennya untuk menyelesaikan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya.
  3. Peranan guru yang lebih banyak sebagai fasilitator merupakan sisi lain daripada kadar tinggi prakarsa serta tanggung jawab siswa di dalam kegiatan belajar sebagaimana didalam butir satu dan dua.
  4. Belajar dengan pengalaman langsung (experiment learning) merupakan indicator lain daripada kadar ke CBSA-an kegiatan belajar mengajar.
  5. Kekayaan variasi bentuk dan alat kegiatan belajar mengajar merupakan indicator lain daripada kadar ke-CBSA-an
  6. Indicator terakhir yang dikemukakan dalam masalah ini adalah kualitas interaksi antar siswa, baik intelektual maupun social, emosional sehingga meningkatkan peluang pembentukan kepribadian seutuhnya, terutama yang berkaitan dengan keamanan dan kemampuan bekerjasama didalam memecahkan masalah, baik yang berkenaan dengan kegiatan intra maupun ekstrakurikuler.
Sedangkan kelemahan dari CBSA diantaranya yaitu:
  1. Tidak menjamin dalam melaksanakan keputusan. Meskipun telah tercapai persetujuan atau konsesus, namun keputusan-keputusan itu belum tentu dapat dilaksanakannya.
  2. Diskusi tak dapat diramalkan, pada mulanya diskusi diorganisasi secara baik tetapi selanjutnya mungkin saja mengarah ke tujuan lain sehingga terjadi Free Foryall terutama jika kepemimpinan diskusi tidak produktif.
  3. Memasyarakatkan agar semua siswa memiliki keterampilan berdiskusi yang diperlukan untuk berpartisipasi secara aktif
  4. Membentuk pengaturan fisik (seperti kursi dan meja) dan jadwal kegiatan secara luwes.
  5. Dapat menjadi palsu (tak murni lagi) jika pemimpin mengalami kesulitan mempertemukan berbagai pendapat padahal dia telah mengetahui jawaban yang diinginkan, sehingga dia menolak pendapat peserta lain.
  6. Dapat didominasi oleh seseorang atau sejumlah siswa sehingga menolak pendapat peserta lain
  7. Jadi kelemahan CBSA, siswa yang pandai akan bertambah pandai, siswa yang bodoh akan tertinggal.
  1. Penerapan CBSA dalam Pembelajaran
Pendekatan CBSA dapat diterapkan dalam pembelajaran dalam bentuk dan teknik:
1)      Pemanfaatan waktu luang
Pemanfaatan waktu luang dirumah oleh siswa memungkinkan dilakukannya kegiatan belajar aktif, dengan cara menyusun rencana belajar, memilih bahan untuk dipelajari, dan menilai penguasaan bahan sendiri.
2)      Pembelajaran individual
Pembelajaran individual adalah pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik perbedaan individu setiap siswa, seperti: minat, bakat, kecerdasan, dan sebagainya. Guru dapat mempersiapkan rencana tugas-tugas belajar bagi para siswa, sedang pilihan dilakukan oleh siswa masing-masing dan selanjutnya siswa aktif secara perseorangan. Teknik lainnya, kegiatan belajar dilakukan dalam bentuk kelompok, yang terdiri dari siswa dengan kemampuan, minat dan bakat yang sama.
3)      Belajar kelompok
Belajar kelompok memiliki kadar CBSA yang cukup tinggi. Teknik pelaksanaanya dapat dalam bentuk kerja kelompok, diskusi kelompok, diskusi kelas, diskusi terbimbing, dan diskusi ceramah. Dalam situasi belajar kelompok, masing-masing anggota dapat mengajukan gagasan, pendapat, pertanyaan, jawaban, kritik dan sebagainya.
4)      Bertanya jawab
Kegiatan Tanya jawab antara guru dengan siswa, antara siswa dengan siswa, dana antara kelompok siswa dengan kelompok lainnya memberikan peluang cukup banyak bagi setiap siswa untuk belajar aktif. Kadar CBSA-nya akan lebih besar jika pertanyaan-pertanyaan tersebut tmbul dan diajukan oleh pihak siswa dan dijawab oleh siswa lainnya. Guru memberikan koreksi dan perbaikan terhadap pertanyaan dan jawaban-jawaban tersebut.
5)      Belajar Inquiry/discovery (belajar mandiri)
Dalam strategi belajar ini, siswa melakukan proses mental intelektual dalam upaya memecahkan masalah. Dia sendiri yang merumuskan suatu masalah, mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan menarik kesimpulan serta mengaplikasikan hasil belajarnya.
6)      Pengajaran unit
Strategi pengajaran ini berpusat pada suatu masalah atau suatu proyek. Pada tahap-tahap kegiatanbelajar ditempuh tiga tahap kegiatan utama, yakni: tahap pendahuluan dimana siswa melakukan orientasi dan perencanaan awal; tahap pengembangan dimana siswa melakukan kegiatan mencari sendiri informasi dan selanjutnya menggunakan informasi itu dalam kegiatan praktik; tahap kegiatan kulminasi, dimana siswa mengalami kegiatan penilaian, pembuatan laporan dan tindak lanjut.
Evaluasi
1. Sebutkan minimal 4 Pendekatan dalam kegiatan pembelajaran?
Jawab : Pendekatan Individual, Pendekatan Kelompok, Pendekatan Bervariasi, Pendekatan Edukatif, Pendekatan Keagamaan, Pendekatan Kebermaknaan
2. Apakah yang dimaksud dengan metode Pendekatan kelompok ?
Jawab : Pendekatan kelompok merupakan pendekatan yang dilakukan guru dengan cara mengelompokkan anak didiknya sesuai dengan kriterianya demi tercapainya kegiatan belajar mengajar.
3.  Mengapa Pendekatan dalam pembelajaran sangat diperlukan ?
Jawab : Guna menumbuhkan atau membangun interaksi yang baik antara guru dan siswa guna tercapainya tujuan
4. Sebutkan contoh metode dari pendekatan fungsional ?
Jawab : latihan, pemberian tugas, ceramah, tanya jawab dan demontrasi

PENGGUNAAN ALAT PERMAINAN EDUKATIF UNTUK PERKEMBANGAN ANAK

Dalam pelaksanaannya dilakukan oleh pendidikan Anak Usia Dini, yaitu suatu upaya pembinaan yang ditunjukkan pada anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. (UU Sisdiknas Pasal 1, butir 14)

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Hal ini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsih, 1997).
Perkembangan anak penting dijadikan perhatian khusus bagi orang tua dan guru. Sebab, proses tumbuh kembang anak akan mempengaruhi kehidupan mereka pada masa mendatang. Jika perkembangan anak luput dari perhatian orang tua (tanpa arahan dan intervensi orang tua dan lingkungan), maka anak akan tumbuh seadanya sesuai dengan  kemampuan yang dimiliki anak.

Prinsip Perkembangan Anak

  • Anak akan belajar dengan baik apabila kebutuhan fisiknya terpenuhi serta merasa aman dan nyaman dalam lingkungannya.
  • Anak belajar terus menerus dimulai dari membangun pemahaman tentang sesuatu, mengekplorasi lingkungan, menemukan kembali tentang sesuatu konsep, hingga membuat sesuatu yang berharga.
  • Anak belajar melalui interasi sosial, dengan orang dewasa maupun teman sebaya.
  • Minat ketekunan anak akan memotivasi belajar anak.
  • Perkembangan dan gaya belajar anak akan dipertimbangkan sebagai perbedaan individu.
  • Anak belajar dari yang sederhana sampai yang komplek, dari yang konkret ke abstrak, dari yang berupa gerakan ke bahasa verbal, dari diri sendiri ke interaksi verbal.
Pengertian
Permainan secara garis besar dibagi  ke dalam dua kelompok, yaitu permainan rekreatif dan permainan edukatif. Permainan rekreatif adalah permainan yang bersifat menyenangkan dan menumbuhkan imajinasi yang tinggi dan biasanya dibuat dengan teknologi yang tinggi pula, contohnya mobil-mobilan, robot-robotan, dll. Sedangkan permainan edukatif adalah permainan yang menyenangkan dirancang untuk tujuan latihan tertentu, atau sebagai sarana untuk melatih kemampuan anak.

Tujuan
  1. Menambah wawasan guru dalam rangka efektivitas belajar mengajar disekolah.
  2. memberi kesempatan guru untuk melakukan inovasi dalam pembelajaran.
  3. memberikan informasi guru untuk menggunakan media yang sesuai dengan kebutuhan anak.
 Prinsip dalam memberikan permainan

  • Berorientasi kepada kebutuhan anak. Kegiatan permainan harus selalu ditujukan pada pemenuhan kebutuhan perkembangan secara individual.
  • Dengan bermain dapat merangsang anak untuk melakukan ekplorasi dengan lingkungannya.
  • Merangsang munculnya kreativitas dan inovasi. Kreativitas dan inovasi tercermin melalui kegiatan yang membuat anak tertarik, fokus, serius dan konsentrasi.
  • Menyediakan lingkungan sehingga anak senang dan aman.
  • Mengembangkan kecakapan yang diarahkan untuk mandiri, disiplin, mampu bersosialisasi, dan mempunyai keterampilan yang berguna untuk kehidupan kelak.
  • Menggunakan alat dan sumber yang sesuai kebutuha.
  •  Diulang-ulang secara bertahap mengacu kepada prinsip-prinsip perkembangan.
  • Rangsangan pendidikan bersifat menyeluruh dan mencakup semua aspek perkembangan (kognitif, efektif, dan psikomotor)
Pelaksanaan dalam permainan edukatif
Yang perlu diperhatikan dalam permainan edukatif yaitu :
  1. Penataan lingkungan, dalam penataan permainan edukatif berbeda dengan alat rekreatif, untuk alat ini harus tertutup dan diberikan sesuai dengan rencana pembelajaran yang akan diberikan.
  2. Pengarahan sebelum bermain, dalam kesempatan ini guru harus memperkenalkan alat yang akan dipakai, memberikan cara atau aturan dalam menggunakan alat, kapan memulai dan mengakhiri, dan merapikan kembali alat.
  3. pelaksanaan permainan, sebaiknya guru memberikan contoh dalam melaksanakan permainan, memberikan motivasi, memberikan bantuan anak yang membutuhkan, mencobakan dengan cara lain untuk memperkaya pengalaman anak, dan mendokumentasikan hasil yang dicapai anak.
  4. kegiatan setelah bermain, yaitu membereskan alat, jika anak belum terbiasa, anak harus dilibatkan dalam membereskan.
Fungsi Permainan
Jika dilihat dari fungsi permainan terhadap perkembangan pribadi anak akan terlihat berbagai fungsi permainan dalam mendukung perkembangan anak tersebut, seperti kesimbangan mental, kestabilan emosi, kecepatan berfikir, daya konsentrasi, sosialisasi, kepemimpinan dan lain-lain.
  1. Fungsi permainan terhadap perkembangan mental.
Seseorang dikatakan memiliki perkembangan mental apabila terpenuhi segala kebutuhan secara memuaskan. Yang menjadi masalah disini adalah, tidak semua kebutuhan terpenuhi, karena datangnya silih berganti, baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Kadang-kadang untuk memenuhi kebutuhan yang satu, bertentangan dengan kebutuhan yang lain. Usaha yang dapat dilakukan dalam menyeimbangkan mental adalan menerima dan memahami masalah-masalah tersebut. Permainan melatih anak untuk belajar mengatasi masalah atau problem solving karena dalam permainan terdapat masalah yang harus dipecahkan atau dipikirkan.
  1. Fungsi permainan sebagai kestabilan emosi.
Seperti yang dikemukakan oleh Sukirno (1993:36) yang mengutip pendapat C. Cowwel dan L. France adalah : ”keseimbangan mental dapat dicapai atau diusahakan dengan mengadakan pendidikan emosi serta mengembangkan daya penyesuaian mengadakan pendidikan secara terarah”.
Permainan sebagai sarana yang dapat dipakai untuk melatih kestabilan emosi dan sebagai sarana penyesuaian terhadap emosi.
  1. Fungsi permainan terhadap kecepatan proses berpikir
Dalam bermain diperlukan berpikir yang cepat dan tepat, hal ini menuntun anak untuk memiliki daya sensitifitas dan daya persepsi yang tinggi terhadap situasi yang dihadapinya. Contoh dalam permainan Puzzle, lego, scrabble dll. Mereka dalam menyelesaikan permainan diperlukan proses berpikir dan imajinasi yang tinggi.
  1. Fungsi permainan terhadap daya konsentrasi
Konsentrasi atau pemusatan perhatian terhadap pelaksanaan suatu usaha adalah penting, permainan dapat dipakai sarana dalam melatih konsentrasi, contohnya seperti meronce, puzzle, maze, dll. Anak dalam melakukan kegiatan meronce harus memerlukan konsentrasi, kalau dilakukan berulang-ulang akan membantu anak berkonsentrasi.
  1. Fungsi permainan terhadap pendekatan jarak sosial.
Bermain tidak membedakan suku, ras, keturunan, kaya atau miskin, semua mempunyai kepentingan yang sama, semua dapat bergembira, dan jenis permainan tidak menjadi tolak ukur kegembiraan. Anak-anak dapat bermain bersama. Permainan dapat digunakan sarana untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan menjalin pergaulan antar sesama.
  1. Fungsi permainan terhadap kepemimpinan
Dalam kegiatan bermain terdapat masalah-masalah yang timbul dalam permainan, sehingga anak dituntut untuk memiliki rasa tanggung jawab yang besar, kebiasaan untuk memberi dan menerima saran-saran, selalu melakukan tugas- tugas dengan penuh pengertian dan kerjasama dan dalam bermain akan menanamkan dan memupuk rasa demokrasi.

PEMBELAJARAN YANG MENYENANGKAN UNTUK SISWA

Dalam situasi pembelajaran yang berlangsung secara monoton, siswa merasa “tersiksa” dan bahkan seperti di penjara. Apalagi guru sebagai motivator dalam pembelajaran hanya menggunakan metode ceramah, maka suasana pembelajaran akan semakin menyiksa. Dalam rangka menerapkan manajemen berbasis sekolah (school based-management) yang umum disingkat MBS dan pembelajaran aktif, perlu kiranya dipikirkan model pembelajaran yang menyenangkan. Model pembelajaran tersebut dimaksudkan untuk memberikan kenyamanan tersendiri bagi siswa dalam belajar.
Untuk menjadi guru impian maka sebelum mengajar, seorang guru harus sudah merancang pembelajaran yang akan disajikan. Dalam merancang pembelajaran tersebut guru dapat mendiskusikannya dengan sesama guru, kepala sekolah, atau pengawas. Dalam diskusi tersebut dibahas materi apa yang akan diajarkan, bagaimana metodenya, bagaimana alat peraganya, dan bagaimana evaluasinya. Sering seorang guru dalam merancang pembelajaran kehilangan seni mengajar. Artinya, mereka terlalu terpaku kepada mekanisme yang sudah baku, runtut, dan terprogram. Dalam merancang pembelajaran pun, seni yang akan ditampilkan dalam pembelajaran mestinya sudah dipersiapkan pula. Pada bagian manakah mereka akan menyelinginya dengan sense of humor sebagai bumbu dalam pembelajaran.
Ketika mengajar, guru bisa saja menggunakan model pendampingan pembelajaran. Biasanya, kegiatan seperti ini pada sekolah-sekolah yang sedang melaksanakan sebuah uji coba. Kehadiran kepala sekolah atau pengawas di kelas tidak dianggap sebagai momok bagi guru, melainkan menjadi mitra. Jika ada sesuatu yang kurang mengena, maka guru dapat mengkonsultasikan dengan para pendamping atau para pendamping secara aktif turut terlibat dalam pembelajaran. Karena kelas sudah diubah suasananya sedemikian rupa, maka siswa tidak akan merasa terkejut dengan kehadiran beberapa orang selain gurunya. Justru dengan cara-cara yang komunikatif, maka siswa akan merasa diperhatikan.
Cara lain adalah guru merancang pembelajarannya melalui sebuah diskusi dengan rekan sejawat atau kepala sekolah, sedangkan dalam praktiknya, mereka tidak didampingi oleh orang lain. Hanya saja yang perlu ditekankan adalah keterlibatan emosional siswa harus benar-benar terjaga, sehingga suasana pembelajaran benar-benar aktif.
Dalam suasana pembelajaran aktif saja sebenarnya pembelajaran yang menyenangkan sudah mulai tercipta. Apalagi jika guru secara kreatif dapat menjalankan komunikasi dua arah yang menyenangkan. Senyum guru, misalnya, mempunyai makna yang sangat dalam bagi keberhasilan pembelajaran. Sebab, senyum itu dapat mencairkan suasana yang beku, monoton, dan tidak menarik.
Guru yang dapat membuat muridnya betah tinggal di kelas adalah guru yang menyenangkan. Saya masih ingat ketika diajar oleh seorang guru SD yang menyenangkan. Meskipun bel istirahat atau bel pulang sudah berdentang, rasanya keinginan untuk beristirahat atau pulang tidak terlalu menggebu-gebu. Ada rasa nyaman di kelas. Ada rasa damai karena Pak Guru telah menciptakan suasana kelas dengan amat menyenangkan. MBS memberikan peluang bagi kepala sekolah atau guru untuk menjabarkan kurikulum dan mengelola kelas dengan sebaik-baiknya. Tidak ada lagi model-model pembelajaran yang dipaksakan. Justru jika ada temuan-temuan yang kreatif mengenai model pembelajaran “baru”, maka guru dapat menerapkannya di dalam pembelajaran.
Pembelajaran yang menyenangkan mengandung unsur “bermain” dalam kegiatan pembelajaran, apalagi untuk kelas I dan II SD. Guru yang tidak bisa membawa anak-anak ke alam “permainan yang menyenangkan”, jangan harap tujuan pembelajaran khusus akan tercapai. Bagaimana dengan siswa kelas III-VI? Masih banyak cara untuk mengantar sebuah pembelajaran menjadi menyenangkan. Guru dapat menggunakan alat peraga yang dirancang bersama siswa. Kemudian mendiskusikan bersama. Pendeknya, siswa benar-benar dilibatkan secara penuh dalam pembelajaran. Dengan demikian akan terjalin sebuah hubungan yang menyenangkan pula. Batas otoritas guru dan siswa sebagai komponen lain dalam pembelajaran sudah tidak terasa sama sekali. Yang ada adalah kemitraan.
Maka, dengan cara-cara seperti itulah pembelajaran akan benar-benar dapat menyenangkan, baik bagi guru maupun siswa. Uji coba yang dilakukan di beberapa sekolah untuk MBS, pembelajaran aktif dan partisipasi masyarakat, serta untuk model pendampingan pembelajaran, menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar. Jika model-model seperti itu dikembangkan di sekolah-sekolah lain di Indonesia, maka pembelajaran akan benar-benar menyenangkan dan pada akhirnya mutu pendidikan akan meningkat.Semua itu tentu membutuhkan itikat baik pemerintah; termasuk di dalamnya adalah kepala sekolah dan guru sebagai agen sentral kurikulum

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH


A. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
 Secara umum, manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb.), untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan keinginan dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau stakeholder yang ada. Sekalipun diberikan kebebasan, namun demikian dalam pelaksanaan MBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Direktorat PLP:2005)

Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang, tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dirangkum bahwa "manajemen berbasis sekolah" adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara otonomis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif)". Kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan. Lebih ringkas lagi, manajemen berbasis sekolah dapat dirumuskan sebagai berikut (David, 1989): manajemen berbasis sekolah adalah otonomi manajemen sekolah yang ditandai dengan budaya pengambilan keputusan partisipatif.

B. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. (Direktorat PLP:2005)
Lebih rincinya, MBS bertujuan untuk:
a) meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibilitas, partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, sustainabilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia;
b) meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
c) meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
d) meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
e) meningkatkan efisiensi, relevansi, dan pemerataan pendidikan di daerah dimana sekolah berada.
Berdasarkan uraian di atas, tujuan utama manajemen berbasis sekolah adalah untuk "memberdayakan" sekolah, terutama sumber daya manusianya (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat sekitarnya), melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan.








Dengan pengertian diatas, maka pengembangan manajemen berbasis sekolah semestinya mengakar di sekolah, terfokus di sekolah, terjadi disekolah, dan dilakukan oleh sekolah. Untuk itu, penerapan manajemen berbasis sekolah memerlukan konsolidasi manajemen sekolah.

Sebagaimana di uraikan di atas, MBS dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Karena itu, esensi MBS= otonomi sekolah + fleksibilitas + partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdayanya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian, keluwesan-keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsb.) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan pengertian diatas, maka sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.








Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan sebagainya); bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumberdayanya; memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya, bagi sumberdaya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggungjawab, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan warga sekolah adalah: pemberian kewenangan, pemberian tanggungjawab, pekerjaan yang bermakna, pemecahan masalah sekolah secara “teamwork”, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumberdaya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki martabat tertinggi.

D. Strategi Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
Strategi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah menurut Buku Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah. ( Direktorat PLP: 2005) dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Melakukan Sosialisasi
Sekolah merupakan sistem yang terdiri dari unsur-unsur dan karenanya hasil kegiatan pendidikan di sekolah merupakan hasil kolektif dari semua unsur sekolah. Dengan cara berpikir semacam ini, maka semua unsur sekolah harus memahami konsep MBS “apa”, “mengapa”, dan “bagaimana” MBS diselenggarakan. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan oleh sekolah adalah mensosialiasikan konsep MBS kepada setiap unsur sekolah (guru, siswa, wakil kepala sekolah, guru BK, karyawan, orangtua siswa, pengawas, pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, pejabat Dinas Pendidikan Propinsi, dsb.) melalui berbagai mekanisme, misalnya seminar, lokakarya, diskusi, rapat kerja, simposium, forum ilmiah, dan media masa.
Dalam melakukan sosialisasi MBS, yang penting dilakukan oleh kepala sekolah adalah “membaca” dan “membentuk” budaya MBS di sekolah masing-masing. Secara umum, garis-garis besar kegiatan sosialisasi/ pembudayaan MBS dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Baca dan pahamilah sistem, budaya, dan sumberdaya yang ada di sekolah secara cermat dan refleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan sumberdaya baru yang diharapkan dapat mendukung penyelenggaraan MBS;
b. Identifikasikan sistem, budaya, dan sumberdaya yang perlu diperkuat dan yang perlu diubah, dan kenalkan sistem, budaya, dan sumberdaya baru yang diperlukan untuk menyelenggarakan MBS;
c. Buatlah komitmen secara rinci yang diketahui oleh semua unsur yang bertanggungjawab, jika terjadi perubahan sistem, budaya, dan sumberdaya yang cukup mendasar;
d. Bekerjalah dengan semua unsur sekolah untuk mengklarifikasikan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MBS;
e. Hadapilah “status quo” (resistensi) terhadap perubahan, jangan menghindar dan jangan menarik darinya serta jelaskan mengapa diperlukan perubahan dari manajemen berbasis pusat menjadi MBS;
f. Garisbawahi prioritas sistem, budaya, dan sumberdaya yang belum ada sekarang, akan tetapi sangat diperlukan untuk mendukung visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MBS dan doronglah sistem, budaya, dan sumberdaya manusia yang mendukung penerapan MBS serta hargailah mereka (unsur-unsur) yang telah memberi contoh dalam penerapan MBS; dan
g. Pantaulah dan arahkan proses perubahan agar sesuai dengan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program MBS.





2. Merumuskan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Sekolah (Tujuan Situasional Sekolah)
Sekolah yang melaksanakan MBS harus membuat rencana strategis dan rencana operasional (rencana tahunan) sekolah. Rencana strategis sekolah pada umumnya mencakup perumusan visi, misi, tujuan sekolah dan strategi pelaksanaannya. Sedangkan rencana kerja tahunan sekolah pada umumnya meliputi pengidentifikasian sasaran sekolah (tujuan situasional sekolah), pemilihan fungsi-fungsi sekolah yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah diidentifikasi, analisis SWOT, langkah-langkah pemecahan persoalan, dan penyusunan rencana dan program kerja tahunan sekolah. Berikut diuraikan secara singkat mengenai perumusan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah (tujuan situasional sekolah).
a. Visi
Setiap sekolah harus memiliki visi. Visi adalah wawasan yang menjadi sumber arahan bagi sekolah dan digunakan untuk memandu perumusan misi sekolah. Dengan kata lain, visi adalah pandangan jauh ke depan kemana sekolah akan dibawa. Visi adalah gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah, agar sekolah yang bersangkutan dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya.
Gambaran tersebut tentunya harus didasarkan pada landasan yuridis, yaitu undang-undang pendidikan dan sejumlah peraturan pemerintahnya, khususnya tujuan pendidikan nasional sesuai jenjang dan jenis sekolahnya dan juga sesuai dengan profil sekolah yang bersangkutan. Dengan kata lain, visi sekolah harus tetap dalam koridor kebijakan pendidikan nasional tetapi sesuai dengan kebutuhan anak dan masyarakat yang dilayani. Tujuan pendidikan nasional sama tetapi profil sekolah khususnya potensi dan kebutuhan masyarakat yang dilayani sekolah tidak selalu sama. Oleh karena itu dimungkinkan sekolah memiliki visi yang tidak sama dengan sekolah lain, asalkan tidak keluar dari koridor nasional yaitu tujuan pendidikan nasional.
b. Misi
Misi adalah tindakan untuk mewujudkan/merealisasikan visi tersebut. Karena visi harus mengakomodasi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah, maka misi dapat juga diartikan sebagai tindakan untuk memenuhi kepentingan masing-masing kelompok yang terkait dengan sekolah. Dalam merumuskan misi, harus mempertimbangkan tugas pokok sekolah dan kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah. Dengan kata lain, misi adalah bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya.
c. Tujuan
Bertolak dari visi dan misi, selanjutnya sekolah merumuskan tujuan. Tujuan merupakan “apa” yang akan dicapai/dihasilkan oleh sekolah yang bersangkutan dan “kapan” tujuan akan dicapai. Jika visi dan misi terkait dengan jangka waktu yang panjang, maka tujuan dikaitkan dengan jangka waktu 3-5 tahun. Dengan demikian tujuan pada dasarnya merupakan tahapan wujud sekolah menuju visi yang telah dicanangkan.
Jika visi merupakan gambaran sekolah di masa depan secara utuh (ideal), maka tujuan yang ingin di capai dalam jangka waktu 3 tahun mungkin belum se ideal visi atau belum selengkap visi. Dengan kata lain, tujuan merupakan tahapan untuk mencapai visi.

    d. Sasaran/Tujuan Situasional
Setelah tujuan sekolah (tujuan jangka menengah) dirumuskan, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan sasaran/target/tujuan situasional/tujuan jangka pendek. Sasaran adalah penjabaran tujuan, yaitu sesuatu yang akan dihasilkan/dicapai oleh sekolah dalam jangka waktu lebih singkat dibandingkan tujuan sekolah. Rumusan sasaran harus selalu mengandungpeningkatan, baik peningkatan kualitas, efektivitas, produktivitas, maupun efisiensi (bisa salah satu atau kombinasi). Agar sasaran dapat dicapai dengan efektif, maka sasaran harus dibuat spesifik, terukur, jelas kriterianya, dan disertai indikator-indikator yang rinci. Meskipun sasaran bersumber dari tujuan, namun dalam penentuan sasaran yang mana dan berapa besar kecilnya sasaran, tetap harus didasarkan atas tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah.







1) Mengidentifikasi Tantangan Nyata Sekolah
Pada tahap ini, sekolah melakukan analisis output sekolah yang hasilnya berupa identifikasi tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah. Tantangan adalah selisih (ketidaksesuaian) antara output sekolah saat ini dan output sekolah yang diharapkan di masa yang akan datang (tujuan sekolah). Besar kecilnya ketidaksesuaian antara output sekolah saat ini (kenyataan) dengan output sekolah yang diharapkan (idealnya) di masa yang akan datang memberitahukan besar kecilnya tantangan. Contoh tantangan kualitas: misalnya, jika dalam tiga tahun ke dapan dicanangkan tujuanuntuk mencapai GSA sebesar +2, sementara saat ini baru mencapai +0,4 berarti tantangan nyata yang dihadapi sekolah adalah (+2)-(+0,4) = (+0,4). Misalnya lagi, juara lomba karya ilmiah remaja sekolah saat ini berperingkat nomor 4 se kabupaten dan yang diharapkan akan meningkat menjadi peringkat nomor 1, maka besarnya tantangan adalah 1-4 (-3), kurang 3. Contoh tantangan efektivitas: dari 300 siswa yang ikut UAN, yang lulus 270 siswa, sehingga tantangannya adalah 30 siswa atau 10 persen yaitu berasal dari 30 siswa dibagi 300 siswa.
Output sekolah saat ini dapat dengan mudah diidentifikasi, karena tersedia datanya. Akan tetapi bagaimanakah caranya mengidentifikasi output sekolah yang diharapkan, sehingga output yang diharapkan tersebut cukup realistis? Caranya, perlu dilakukan analisis prakiraan (forecasting) lengkap dengan asumsi-asumsinya untuk menemukan kecenderungan-kecenderungan yang diharapkan di masa depan.
Pada umumnya, tantangan sekolah bersumber dari output sekolah yang dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu kualitas, produktivitas, efektivitas, dan efisiensi.
Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksud adalah kualitas output sekolah yang bersifat akademik (misal: NUAN dan LKIR) dan non-akademik (misal: olah raga dan kesenian). Mutu output sekolah dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input dan proses persekolahan.
Produktivitas adalah perbandingan antara output sekolah dibanding input sekolah. Baik output maupun input sekolah adalah dalam bentuk kuantitas. Kuantitas input sekolah, misalnya jumlah guru, modal sekolah, bahan, dan energi. Kuantitas output sekolah, misalnya jumlah siswa yang lulus sekolah setiap tahunnya. Contoh produktivitas, misalnya, jika tahun ini sebuah sekolah lebih banyak meluluskan siswanya dari pada tahun lalu dengan input yang sama (jumlah guru, fasilitas, dsb.), maka dapat dikatakan bahwa tahun ini sekolah tersebut lebih produktif dari pada tahun sebelumnya.
Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauhmana tujuan (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah dicapai. Dalam bentuk persamaan, efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang diharapkan. Misalnya, NUAN idealnya berjumlah 60, namun NUAN yang diperoleh siswa hanya 45, maka efektivitasnya adalah 45:60 = 75%.
Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal.Efisiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output sekolah (pencapaian prestasi belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk memproses/menghasilkan output sekolah. Efisiensi internal sekolah biasanya diukur dengan biaya-efektivitas. Setiap penilaian biaya-efektivitas selalu memerlukan dua hal, yaitu penilaian ekonomik untuk mengukur biaya masukan (input) dan penilaian hasil pembelajaran (prestasi belajar, lama belajar, angka putus sekolah). Misalnya, jika dengan biaya yang sama, tetapi NUAN tahun ini lebih baik dari pada NUAN tahun lalu, maka dapat dikatakan bahwa tahun ini sekolah yang bersangkutan lebih efisien secara internal dari pada tahun lalu. Efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial, ekonomik, dan non-ekonomik) yang didapat setelah pada kurun waktu yang panjang diluar sekolah. Analisis biaya-manfaat merupakan alat utama untuk mengukur efisiensi eksternal. Misalnya, dua sekolah SMP 1 dan SMP 2 dengan menggunakan biaya yang sama setiap tahunnya. Akan tetapi, lulusan SMP 1 mendapatkan upah yang lebih besar dari pada lulusan SMP 2 setelah mereka bekerja. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa SMP 1 lebih efisien secara eksternal dari pada SMP 2.



2) Merumuskan Sasaran (Tujuan Situasional)
Berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi sekolah, maka dirumuskanlah sasaran/tujuan situasional yang akan dicapai oleh sekolah. Meskipun sasaran dirumuskan berdasarkan atas tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah, namun perumusan sasaran tersebut harus tetap mengacu pada visi, misi, dan tujuan sekolah, karena visi, misi, dan tujuan sekolah merupakan sumber pengertian (sumber referensi) bagi perumusan sasaran sekolah. Karena itu, sebelum merumuskan sasaran sekolah yang akan dicapai, setiap sekolah harus memiliki visi, misi, dan tujuan sekolah
Sasaran sebaiknya hanya untuk waktu yang relatif pendek, misalnya untuk satu tahun ajaran. Dengan demikian sasaran (misalnya untuk 1 tahun) pada dasarnya merupakan tahapan untuk mencapai tujuan jangka menengah (misalnya untuk jangka 3 tahun). Ketika menentukan sasaran, prioritas harus dipertimbangkan sungguh-sungguh. Jika tujuan yang telah dicanangkan mencakup 5 aspek, apakah kelimanya akan digarap pada tahun pertama, atau hanya beberapa saja. Hal itu sangat tergantung kondisi sekolah.

3. Mengidentifikasi Fungsi-Fungsi yang Diperlukan untuk Mencapai Sasaran
Setelah sasaran dipilih, maka langkah berikutnya adalah mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud, misalnya, fungsi proses belajar mengajar beserta fungsi-fungsi pendukungnya yaitu fungsi pengembangan kurikulum, fungsi perencanaan dan evaluasi, fungsi ketenagaan, fungsi keuangan, fungsi pelayanan kesiswaan, fungsi pengembangan iklim akademik sekolah, fungsi hubungan sekolah-masyarakat, dan fungsi pengembangan fasilitas.

4. Melakukan Analisis SWOT
Setelah fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran diidentifikasi, maka langkah berikutnya adalah menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat).
Analisis SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya dicapai melalui membandingkan faktor dalam kondisi nyata dengan faktor dalam kriteria kesiapan. Yang dimaksud dengan kriteria kesiapan faktor adalah faktor yang memenuhi kriteria/standar untuk mencapai sasaran/tujuan situasional. Faktor yang memenuhi kriteria/standar ini ditemukan melalui perhitungan-perhitungan atau pertimbangan-pertimbangan yang bersumber pada pencapaian sasaran.
Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor pada setiap fungsi yang berada didalam kewenangan sekolah. Sedangkan yang dimaksud faktor eksternal adalah faktor-faktor pada setiap fungsi yang berada diluar kewenangan sekolah. Misalnya, fungsi proses belajar mengajar terdiri dari banyak faktor, satu diantaranya perilaku mengajar guru (faktor internal) dan satu lainnya kondisi lingkungan sosial masyarakat (faktor eksternal). Perilaku mengajar guru digolongkan faktor internal karena sekiranya perilaku tersebut perlu diubah, masih dalam kewenangan sekolah. Sebaliknya, kondisi lingkungan sosial masyarakat digolongkan sebagai faktor eksternal karena sekiranya kondisi tersebut ingin diubah, diluar kewenangan sekolah.








Tingkat kesiapan harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran/kriteria kesiapan yang diperlukan untuk mencapai sasaran, yang dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal; peluang,bagi faktor yang tergolong eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong internal; danancaman, bagi faktor yang tergolong eksternal. Baik kelemahan maupun ancaman, sebagai faktor yang memiliki tingkat kesiapan kurang memadai, disebut persoalan.
5. Alternatif Langkah Pemecahan Persoalan
Dari hasil analisis SWOT, maka langkah berikutnya adalah memilih langkah-langkah pemecahan persoalan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka sasaran yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar sasaran tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.

6. Menyusun Rencana dan Program Peningkatan Mutu
Berdasarkan langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut, sekolah bersama-sama dengan semua unsur-unsurnya membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, beserta program-programnya untuk merealisasikan rencana tersebut. Sekolah tidak selalu memiliki sumberdaya yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan bagi pelaksanaan MBS, sehingga perlu dibuat skala prioritas untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.
Rencana yang dibuat harus menjelaskan secara detail dan lugas tentang: aspek-aspek mutu yang ingin dicapai, kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, siapa yang harus melaksanakan, kapan dan dimana dilaksanakan, dan berapa biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini diperlukan untuk memudahkan sekolah dalam menjelaskan dan memperoleh dukungan dari pemerintah maupun dari orangtua siswa, baik dukungan pemikiran, moral, material maupun finansial untuk melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan tersebut. Rencana yang dimaksud harus juga memuat rencana anggaran biaya (rencana biaya) yang diperlukan untuk merealisasikan rencana sekolah.
Hal pokok yang perlu diperhatikan oleh sekolah dalam penyusunan rencana adalah keterbukaan kepada semua pihak yang menjadi stakeholder pendidikan, khususnya orangtua siswa dan masyarakat (BP3/Komite Sekolah) pada umumnya. Dengan cara demikian akan diperoleh kejelasan, berapa kemampuan sekolah dan pemerintah untuk menanggung biaya rencana ini, dan berapa sisanya yang harus ditanggung oleh orangtua peserta didik dan masyarakat sekitar. Dengan keterbukaan rencana ini, maka kemungkinan kesulitan memperoleh sumberdana untuk melaksanakan rencana ini bisa dihindari.
Jika rencana adalah merupakan deskripsi hasil yang diharapkan dan dapat digunakan untuk keperluan penyelenggaraan kegiatan sekolah, maka program adalah alokasi sumberdaya (sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya, misalnya, uang, bahan, peralatan, perlengkapan, perbekalan, dsb.) kedalam kegiatan-kegiatan, menurut jadwal waktu dan menunjukkan tatalaksana yang sinkron. Dengan kata lain, program adalah bentuk dokumen untuk menggambarkan langkah mewujudkan sinkronisasi dalam ketatalaksanaan.










7. Melaksanakan Rencana Peningkatan Mutu
Dalam melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan yang telah disetujui bersama antara sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat, maka sekolah perlu mengambil langkah proaktif untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Kepala sekolah dan guru hendaknya mendayagunakan sumberdaya pendidikan yang tersedia semaksimal mungkin, menggunakan pengalaman-pengalaman masa lalu yang dianggap efektif, dan menggunakan teori-teori yang terbukti mampu meningkatkan kualitas pembelajaran. Kepala sekolah dan guru bebas mengambil inisiatif dan kreatif dalam menjalankan program-program yang diproyeksikan dapat mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Karena itu, sekolah harus dapat membebaskan diri dari keterikatan-keterikatan birokratis yang biasanya banyak menghambat penyelenggaraan pendidikan.
Dalam melaksanakan proses pembelajaran, sekolah hendaknya menerapkan konsep belajar tuntas (mastery learning). Konsep ini menekankan pentingnya siswa menguasai materi pelajaran secara utuh dan bertahap sebelum melanjutkan ke pembelajaran topik-topik yang lain. Dengan demikian siswa dapat menguasai suatu materi pelajaran secara tuntas sebagai prasyarat dan dasar yang kuat untuk mempelajari tahapan pelajaran berikutnya yang lebih luas dan mendalam.
Untuk menghindari berbagai penyimpangan, kepala sekolah perlu melakukan supervisi dan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan peningkatan mutu yang dilakukan di sekolah. Kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin pendidikan di sekolahnya berhak dan perlu memberikan arahan, bimbingan, dukungan, dan teguran kepada guru dan tenaga lainnya jika ada kegiatan yang tidak sesuai dengan jalur-jalur yang telah ditetapkan. Namun demikian, bimbingan dan arahan jangan sampai membuat guru dan tenaga lainnya menjadi amat terkekang dalam melaksanakan kegiatan, sehingga kegiatan tidak mencapai sasaran.

8. Melakukan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah perlu mengadakan evaluasi pelaksanaan program, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Evaluasi jangka pendek dilakukan setiap akhir catur wulan untuk mengetahui keberhasilan program secara bertahap. Bilamana pada satu catur wulan dinilai adanya faktor-faktor yang tidak mendukung, maka sekolah harus dapat memperbaiki pelaksanaan program peningkatan mutu pada catur wulan berikutnya. Evaluasi jangka menengah dilakukan pada setiap akhir tahun, untuk mengetahui seberapa jauh program peningkatan mutu telah mencapai sasaran-sasaran mutu yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan evaluasi ini akan diketahui kekuatan dan kelemahan program untuk diperbaiki pada tahun-tahun berikutnya.
Dalam melaksanakan evaluasi, kepala sekolah harus mengikutsertakan setiap unsur yang terlibat dalam program, khususnya guru dan tenaga lainnya agar mereka dapat menjiwai setiap penilaian yang dilakukan dan memberikan alternatif pemecahan. Demikian pula, orangtua peserta didik dan masyarakat sebagai pihak eksternal harus dilibatkan untuk menilai keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Dengan demikian, sekolah mengetahui bagaimana sudut pandang pihak luar bila dibandingkan dengan hasil penilaian internal. Suatu hal yang bisa terjadi bahwa orangtua peserta didik dan masyarakat menilai suatu program gagal atau kurang berhasil, walaupun pihak sekolah menganggapnya cukup berhasil. Yang perlu disepakati adalah indikator apa saja yang perlu ditetapkan sebelum penilaian dilakukan. Untuk lebih detailnya tentang monitoring dan evaluasi MBS.
Hasil evaluasi pelaksanaan MBS perlu dibuat laporan yang terdiri dari laporan teknis dan keuangan. Laporan teknis menyangkut program pelaksanaan dan hasil MBS, sedang laporan keuangan meliputi penggunaan uang serta pertanggungjawabannya. Jika sekolah melakukan upaya-upaya penambahan pendapatan (income generating activities), maka pendapatan tambahan tersebut harus juga dilaporkan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban (akuntabilitas), maka laporan harus dikirim kepada Pengawas, Dinas Pendidikan Kabupaten, Komite Sekolah, Orang Tua Siswa dan Yayasan (bagi sekolah swasta).







9. Merumuskan Sasaran Mutu Baru
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, hasil evaluasi berguna untuk dijadikan alat bagi perbaikan kinerja program yang akan datang. Namun yang tidak kalah pentingnya, hasil evaluasi merupakan masukan bagi sekolah dan orangtua peserta didik untuk merumuskan sasaran mutu baru untuk tahun yang akan datang. Jika dianggap berhasil, sasaran mutu dapat ditingkatkan sesuai dengan kemampuan sumberdaya yang tersedia. Jika tidak, bisa saja sasaran mutu tetap seperti sediakala, namun dilakukan perbaikan strategi dan mekanisme pelaksanaan kegiatan. Namun tidak tertutup kemungkinan, bahwa sasaran mutu diturunkan, karena dianggap terlalu berat atau tidak sepadan dengan sumberdaya pendidikan yang ada (tenaga, sarana dan prasarana, dana) yang tersedia.
Setelah sasaran baru ditetapkan, kemudian dilakukan analisis SWOT untuk mengetahui tingkat kesiapan masing-masing fungsi dalam sekolah, sehingga dapat diketahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Dengan informasi ini, maka langkah-langkah pemecahan persoalan segera dipilih untuk mengatasi faktor-faktor yang mengandung persoalan. Setelah ini, rencana peningkatan mutu baru dapat dibuat. Demikian seterusnya, caranya seperti urut-urutan nomor 2 s/d nomor 8 diatas.
E. Pengambilan Keputusan Partisipatif
Pengambilan keputusan partisipatif merupakan salah satu konsep dasar dari Manajemen Berbasis sekolah. Adapun yang dimaksud Pengambilan keputusan partisipatif menurut David (Slamet PH: 2000) adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam pengambilan keputusan, maka yang bersangkutan akan ada "rasa memiliki" terhadap keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah.
Esensi proses pengambilan keputusan partisipatif (Cangemi, 1985) adalah untuk mencari "wilayah kesamaan" antara kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (stakehorder) yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orangtua siswa, dan pemerintah/yayasan). Wilayah kesamaan inilah yang menjadi modal dasar untuk menumbuhkan "rasa memiliki" bagi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah dan ini dapat dilakukan secara efektif melalui pelibatan semua kelompok kepentingan dalam proses pengambilan keputusan.

Esensi konsep MBS adalah otonomi. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Untuk mencapai otonomi sekolah, diperlukan suatu proses yang disebut "desentralisasi". Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemeritah Dati I ke Dati II, dari Dati II ke sekolah, dan bahkan dari sekolah ke guru, tetapi harus tetap dalam kerangka pendidikan nasional. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pendidikan yang diatur secara "sentralistik" menghasilkan fenomena-fenomena seperti berikut: lamban berubah/beradaptasi, bersifat kaku, normatif sekali orientasinya karena terlalu banyaknya lapis-lapis birokrasi, tidak jarang birokrasi mengendalikan fungsi dan bukan sebaliknya, uniformitas telah memasung kreativitas, dan tradisi serta serimoni yang penuh kepalsuan sudah menjadi kebiasaan. Kecil itu indah, adalah merupakan esensi desentralisasi.










 Menurut Bailey (1991), organisasi yang cakupan, pemerintahan, manajemen, dan ukurannya kecil, mudah beradaptasi. Karena itu, desentralisasi bukan lagi merupakan hal penting untuk diterapkan, tetapi sudah merupakan keharusan. Dengan desentralisasi, maka: (1) fleksibilitas pengambilan keputusan sekolah akan tumbuh dan berkembang dengan subur, sehingga keputusan dapat dibuat "sedekat" mungkin dengan kebutuhan sekolah; (2) akuntabilitas/pertanggunggugatan terhadap masyarakat (majelis sekolah, orangtua peserta didik, publik) dan pemerintah meningkat; dan (3) kinerja sekolah akan meningkat (efektivitasnya, kualitasnya, efisiensinya, produktivitasnya, inovasinya, provitabilitasnya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moralnya).

A. Strategi Pelaksanaan MBS yang Tepat Guna Mewujudkan Keterlaksanaan MBS yang Bermutu

Dalam penerapan Manajemen Berbasis Sekolah perlu adanya strategi yang tepat. Strategi yang dapat ditempuh dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah dengan baik menurut Slamet PH, (2000) adalah:
Mensosialiasikan konsep manajemen berbasis sekolah keseluruh warga sekolah, yaitu guru,siswa, wakil-wakil kepala sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, wakil kandep, wakil kanwil, dsb.) melalui seminar, diskusi, forum ilmiah, dan media masa. Hendaknya dalam sosialisasi ini juga dibaca dan dipahami sistem, budaya, dan sumber daya sekolah yang ada secermat-cermatnya dan direfleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan sumber daya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah.
Melakukan analisis situasi sekolah dan luar sekolah yang hasilnya berupa tantangan nyata yang harus dihadapi oleh sekolah dalam rangka mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah. Tantangan adalah selisih (ketidaksesuaian) antara keadaan sekarang (manajemen berbasis pusat) dan keadaan yang diharapkan (manajemen berbasis sekolah). Karena itu, besar kecilnya ketidaksesuaian antara keadaan sekarang (kenyataan) dan keadaan yang diharapkan (idealnya) memberitahukan besar kecilnya tantangan (loncatan).
Merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai dari pelaksanaan manajemen berbasis sekolah berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi (butir 2). Segera setelah tujuan situasional ditetapkan, kriteria kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya ditetapkan. Kriteria inilah yang akan digunakan sebagai standar atau kriteria untuk mengukur tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya.
Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi fungsi-fungsi mana yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud meliputi antara lain: pengembangan kurikulum, pengembangan tenaga kependidikan dan nonkependidikan, pengembangan siswa, pengembangan iklim akademik sekolah, pengembangan hubungan sekolah-masyarakat, pengembangan fasilitas, dan fungsi-fungsi lain.
Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, and Threat). Analisis SWOT dilakukan dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan. Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Tingkat kesiapan harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional, yang dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal; peluang, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong faktor internal; dan ancaman, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal.







Memilih langkah-langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka tujuan situasional yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.
Berdasarkan langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut, sekolah bersama-sama dengan semua unsur-unsurnya membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, beserta program-programnya untuk merealisasikan rencana tersebut. Sekolah tidak selalu memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan manajemen berbasis sekolah idealnya, sehingga perlu dibuat sekala prioritas untuk rencana jangka pendek, menengah, dan panjang.
Melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek manajemen berbasis sekolah. Dalam pelaksanaan, semua input yang diperlukan untuk berlangsungnya proses (pelaksanaan) manajemen berbasis sekolah harus siap. Jika input tidak siap/tidak memadai, maka tujuan situasional tidak akan tercapai. Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan adalah pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, dan pengelolaan proses belajar mengajar.
Pemantauan terhadap proses dan evaluasi terhadap hasil manajemen berbasis sekolah perlu dilakukan. Hasil pantauan proses dapat digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan penyelenggaraan dan hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan situasional yang telah dirumuskan. Demikian kegiatan ini dilakukan secara terus-menerus, sehingga proses dan hasil manajemen berbasis sekolah dapat dioptimalkan.
Sembilan strategi pelaksanaan MBS tersebut di atas akan dapat berjalan dengan baik apabila kepala sekolah dalam kepemimpinannya mampu melaksanakan budaya pengambilan keputusan partisipatif.
B. Penerapan Budaya Pengambilan Keputusan Partisipatif untuk Mewujudkan MBS yang Bermutu
Sebagaimana dikemukakan pada Landasan Teori bahwa pengambilan keputusan partisipatif merupakan suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Teknik pengambilan keputusan seperti ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam pengambilan keputusan, maka yang bersangkutan akan ada "rasa memiliki" terhadap keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat pertisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yurisdiksi, dan relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan sekolah.
Bagaimana menerapkan pengambilan keputusan partisipatif? Menurut Cangemi (dalam Slamet PH: 2000), paling tidak ada tiga pertanyaan yang harus dijawab oleh kepala sekolah sewaktu akan menerapkan pengambilan keputusan partisipatif: (1) bagaimana cara menentukan, dalam setiap kasus, apakah cocok dan produktif jika pengambilan keputusan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?; (2) kemudian, jika proses pengambilan keputusan perlu melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, pertanyaan kedua adalah: bagian yang mana dari proses pengambilan keputusan yang perlu melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?; (3) pertanyaan ketiga adalah cara yang mana (apa) yang paling efektif untuk melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan?









Tentunya tidak semua wilayah (zona) pengambilan keputusan harus melibatkan semua kelompok kepentingan. Ada wilayah-wilayah yang memang merupakan hak prerogatif pimpinan untuk diputuskan secara sendirian dan bawahan harus menerimanya tanpa syarat. Kalaupun pimpinan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, maka hal ini harus dipikirkan secara mendalam dan terkontrol pelaksanaannya.
Ada empat petunjuk untuk mengidentifikasi pengambilan keputusan yang harus melibatkan para kelompok kepentingan, yaitu relevansi, kompetensi, yurisdiksi, dan kompatibilitas tujuan. Relevansi adalah tingkat relevansinya. Sekiranya keputusan yang akan diambil relevan dengan kebutuhan kelompok kepentingan tertentu (kelompok yang bakal terkena dampak keputusan), maka pengambilan keputusan sebaiknya melibatkan kelompok kepentingan tersebut. Kompetensi, adalah uji keahlian. Artinya, kelompok kepentingan yang akan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, harus memiliki sesuatu untuk dikontribusikan.
Mereka harus memiliki kompetensi untuk ikut serta dalam memecahkan persoalan-persoalan yang terkait dengan kepentingannya. Yurisdiksi mengandung pengertian bahwa sekolah didirikan untuk menjalankan fungsinya melalui struktur-herarkis. Oleh karena itu, ada batas-batas yurisdiksi yang memang tidak semua kelompok kepentingan harus terlibat dalam pengambilan keputusan. Pelibatan yang tidak proporsional secara yurisdiksi akan cenderung membuat frustasi dan kemarahan yang tidak berdasar. Keempat, uji kompatibilitas tujuan. Apabila kompatibilitas tujuan dari semua kelompok kepentingan diinginkan, maka pelibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan sangat diperlukan.
Untuk dapat menerapkan pengambilan keputusan partispatif, ada beberapa model yang dapat digunakan, di antaranya:

1) Pemberitahuan
Di sini kepala sekolah mengambil keputusan secara sendirin. Dia tidak mencari informasi dan tidak mencari nasehat dari orang lain. Dia mempercayakan pada pengalamannya sendiri dan penelitiannya sendiri, dan semata-mata mengumumkan keputusannya. Gaya ini cocok untuk keputusan-keputusan yang terletak diluar zona kepedulian karyawan.

(2) Pengumpulan Informasi
Disini kepala sekolah menggunakan kelompok kepentingan tertentu hanya untuk tujuan pengumpulan informasi (penelitian masalah). Partisipan tidak diundang untuk datang bersama-sama dan bahkan tidak tahu siapa saja yang dimintai informasi. Melalui pembicaraan telpon atau laporan tertulis, kepala sekolah mencoba menarik kontribusi dari kelompok kepentingan tertentu agar supaya dapat mengambil keputusan oleh dirinya sendiri. Gaya semacam ini hanya berlaku secara terbatas untuk keputusan-keputusan marjinal diluar zona kepedulian karyawan.

(3) Pengumpulan Informasi dan Pembahasan
Di sini kepala sekolah berusaha mengumpulkan informasi dan memferifikasinya dengan mengundang secara bersama-sama para kelompok kepentingan yang dapat berkontribusi terhadap informasi awal yang telah dikumpulkan. Sewaktu informasi ini dicek-silang dan diklarifikasi, kolegialitas antar kelompok kepentingan tidak terlalu didorong/dimunculkan. Dari informasi cek-silang ini, kemudian Kepala Sekolah akan menggunakannya untuk masukan bagi pengambilan keputusan yang akan dilakukan oleh dirinya sendiri.











4) Pengumpulan Pendapat dan Pembahasan
Di sini kepala sekolah meminta bawahannya untuk menginterpretasi informasi yang telah dibagi-bagikan kepada mereka. Dia memanfaatkan mereka untuk menjelaskan makna data-data yang telah dibagi-bagikan keseluruh kelompok. Pendapat-pendapat yang diusulkan mungkin beragam dan tidak bisa menghasilkan saran-saran umum terhadap Kepala Sekolah untuk memecahkan persoalan. Lagi-lagi, sepala sekolah mengambil keputusan oleh dirinya sendiri tetapi dalam hal ini dia telah mendorong pertukaran pendapat secara bebas sewaktu dilakukan cek-silang antar kelompok kepentingan. Kondisi ini cocok jika setiap kelompok kepentingan dapat dipercaya untuk bagi-bagi pendapat dan memiliki keahlian yang sesuai dengan keputusan yang akan diambil.
5) Debat, Dialog, dan Proteksi Ekuitas/Kesamaan
Dalam model ini, kepala sekolah tidak hanya mendorong pertukaran pendapat secara bebas, tetapi juga untuk meyakinkan bahwa individu-individu yang menawarkan pendapat harus berdebat untuk mempertahankan pendapatnya. Melalui interaksi ini kemudian dilakukan penilaian terhadap pendapat-pendapat tersebut sehingga ditemukan pendapat yang relatif lebih baik. Karena semua pendapat harus dilontarkan, maka peran kepala sekolah adalah melindungi pendapat-pendapat dari kelompok minoritas dan memberhentikan mereka yang telah habis waktunya dalam curah/debat pendapat. Dalam peran ini, kepala sekolah tetap akan mengambil keputusan oleh dirinya sendiri, namun dia akan dipengaruhi secara signifikan oleh argumen-argumen yang disampaikan oleh para partisipan.
(6) Demokrasi
Model pengambilan keputusan semacam ini pada dasarnya menggunakan sistem "voting". Kepala sekolah menyerahkan sebagian besar wewenang pengambilan keputusannya, sehingga dia akan berpartisipasi dalam diskusi tersebut dan dia akan memberikan suaranya melalui "voting", dan oleh karena itu keputusan final akan ditentukan oleh suara mayoritas. Teknik ini cocok untuk pengambilan keputusan yang kontroversial, dimana konsensus sukar dicapai.
7) Konsensus
Di sini kepala sekolah mendorong munculnya pendapat-pendapat yang beragam dan dia bertindak sebagai parlementarian untuk menjamin hak-hak yang sama dari semua peserta yang terlibat dalam diskusi. Segera setelah kelompok diskusi mengarah kepada kesepakatan, dia meringkasnya dan mengklarifikasi isu-isu tersebut. Dia memimpin diskusi, tetapi dia tidak menempatkan pendapatnya di atas peserta diskusi. Dia berusaha membawa kelompok diskusi kearah persetujuan terhadap alternatif terbaik, yaitu alternatif yang dapat diterima oleh kelompok secara keseluruhan. Ini tidak berarti bahwa setiap peserta akan puas secara total terhadap keputusan, akan tetapi paling tidak setiap peserta seyogyanya puas terhadap keputusan tersebut karena inilah keputusan terbaik yang dapat dicapainya.
(8) Delegasi
Dalam kondisi-kondisi tertentu, suatu keputusan tidak harus ditangani oleh kepala sekolah, karena keputusan tersebut tidak relevan baginya maupun bagi sekolahnya. Dia tidak memiliki keahlian untuk berkontribusi dan karena itu dia mendelegasikan keputusan kepada bawahannya (guru, konselor, BP3, dsb.). Dia tidak berpartisipasi. Dia tidak mengganggu hasil akhir keputusan, namun bisa saja dia merupakan salah seorang yang menunjukkan adanya permasalahan.