A. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Secara umum, manajemen berbasis sekolah
(MBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih
besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada
sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa,
kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat,
ilmuwan, pengusaha, dsb.), untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan
kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan untuk mengambil
keputusan-keputusan sesuai dengan keinginan dan tuntutan sekolah serta
masyarakat atau stakeholder yang ada. Sekalipun diberikan kebebasan, namun
demikian dalam pelaksanaan MBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (Direktorat PLP:2005)
Dengan otonomi yang lebih besar, maka
sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya,
sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya
dalam mengembangkan program-program yang, tentu saja, lebih sesuai dengan
kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Dengan
fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola
dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal.
Berdasarkan uraian tersebut dapat
dirangkum bahwa "manajemen berbasis sekolah" adalah pengkoordinasian
dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara otonomis (mandiri) oleh
sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam
kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang
terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan
(partisipatif)". Kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah
meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga
administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil
pemerintahan, wakil organisasi pendidikan. Lebih ringkas lagi, manajemen
berbasis sekolah dapat dirumuskan sebagai berikut (David, 1989): manajemen
berbasis sekolah adalah otonomi manajemen sekolah yang ditandai dengan budaya
pengambilan keputusan partisipatif.
B. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bertujuan untuk memandirikan atau
memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah,
pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola
sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat
untuk meningkatkan mutu pendidikan. (Direktorat PLP:2005)
Lebih rincinya, MBS bertujuan untuk:
a) meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibilitas,
partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, sustainabilitas, dan
inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya
yang tersedia;
b) meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
c) meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orangtua, masyarakat, dan
pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
d) meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan
yang akan dicapai.
e) meningkatkan efisiensi, relevansi, dan pemerataan pendidikan di daerah
dimana sekolah berada.
Berdasarkan uraian di atas, tujuan utama manajemen berbasis sekolah adalah
untuk "memberdayakan" sekolah, terutama sumber daya manusianya
(kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat
sekitarnya), melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan sumber daya lain
untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan.
Dengan pengertian diatas, maka pengembangan manajemen berbasis sekolah
semestinya mengakar di sekolah, terfokus di sekolah, terjadi disekolah, dan
dilakukan oleh sekolah. Untuk itu, penerapan manajemen berbasis sekolah
memerlukan konsolidasi manajemen sekolah.
Sebagaimana di uraikan di atas, MBS dapat didefinisikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan
fleksibilitas/keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya
sekolah, dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan
mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Karena itu, esensi MBS=
otonomi sekolah + fleksibilitas + partisipasi untuk mencapai sasaran mutu
sekolah.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian
dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung.
Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian
sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus
akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas).
Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya swasembada, swakelola,
swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah
untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus
didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang
terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi
sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan
berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan
persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan
bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan
kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya
sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan
yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan
tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan
memberdayakan sumberdayanya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan
lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian,
keluwesan-keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan
peraturan perundang-undangan yang ada.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang
terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan
masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsb.)
didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai
dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang
diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan pengertian diatas, maka sekolah memiliki kewenangan (kemandirian)
lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu,
menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan
melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas
pengelolaan sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari
kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga
hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan,
sedang unit-unit diatasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan
Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan
pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan
antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet,
inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan sebagainya); bertanggungjawab
terhadap kinerja sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen
dan sumberdayanya; memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja; komitmen
yang tinggi pada dirinya; dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
Selanjutnya, bagi sumberdaya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya,
memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggungjawab,
pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana, dia memiliki
kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan warga sekolah
adalah: pemberian kewenangan, pemberian tanggungjawab, pekerjaan yang bermakna,
pemecahan masalah sekolah secara “teamwork”, variasi tugas, hasil kerja yang
terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan,
didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian
penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif,
umpan balik bagus, sumberdaya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah
diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki martabat tertinggi.
D. Strategi Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
Strategi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah menurut Buku Konsep Dasar
Manajemen Berbasis Sekolah. ( Direktorat PLP: 2005) dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Melakukan Sosialisasi
Sekolah merupakan sistem yang terdiri dari unsur-unsur
dan karenanya hasil kegiatan pendidikan di sekolah merupakan hasil kolektif
dari semua unsur sekolah. Dengan cara berpikir semacam ini, maka semua unsur
sekolah harus memahami konsep MBS “apa”, “mengapa”, dan “bagaimana” MBS
diselenggarakan. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan oleh
sekolah adalah mensosialiasikan konsep MBS kepada setiap unsur sekolah (guru,
siswa, wakil kepala sekolah, guru BK, karyawan, orangtua siswa, pengawas,
pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, pejabat Dinas Pendidikan Propinsi,
dsb.) melalui berbagai mekanisme, misalnya seminar, lokakarya, diskusi, rapat
kerja, simposium, forum ilmiah, dan media masa.
Dalam melakukan sosialisasi MBS, yang penting
dilakukan oleh kepala sekolah adalah “membaca” dan “membentuk” budaya MBS di
sekolah masing-masing. Secara umum, garis-garis besar kegiatan sosialisasi/
pembudayaan MBS dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Baca dan pahamilah sistem, budaya, dan sumberdaya yang ada di sekolah
secara cermat dan refleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan
sumberdaya baru yang diharapkan dapat mendukung penyelenggaraan MBS;
b. Identifikasikan sistem, budaya, dan sumberdaya yang perlu diperkuat dan
yang perlu diubah, dan kenalkan sistem, budaya, dan sumberdaya baru yang
diperlukan untuk menyelenggarakan MBS;
c. Buatlah komitmen secara rinci yang diketahui oleh semua unsur yang
bertanggungjawab, jika terjadi perubahan sistem, budaya, dan sumberdaya yang
cukup mendasar;
d. Bekerjalah dengan semua unsur sekolah untuk mengklarifikasikan visi, misi,
tujuan, sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MBS;
e. Hadapilah “status quo” (resistensi) terhadap perubahan, jangan menghindar
dan jangan menarik darinya serta jelaskan mengapa diperlukan perubahan dari
manajemen berbasis pusat menjadi MBS;
f. Garisbawahi prioritas sistem, budaya, dan sumberdaya yang belum ada
sekarang, akan tetapi sangat diperlukan untuk mendukung visi, misi, tujuan,
sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MBS dan doronglah sistem,
budaya, dan sumberdaya manusia yang mendukung penerapan MBS serta hargailah
mereka (unsur-unsur) yang telah memberi contoh dalam penerapan MBS; dan
g. Pantaulah dan arahkan proses perubahan agar sesuai dengan visi, misi,
tujuan, sasaran, rencana, dan program-program MBS.
2. Merumuskan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Sekolah
(Tujuan Situasional Sekolah)
Sekolah yang melaksanakan MBS harus membuat rencana
strategis dan rencana operasional (rencana tahunan) sekolah. Rencana strategis
sekolah pada umumnya mencakup perumusan visi, misi, tujuan sekolah dan strategi
pelaksanaannya. Sedangkan rencana kerja tahunan sekolah pada umumnya meliputi
pengidentifikasian sasaran sekolah (tujuan situasional sekolah), pemilihan
fungsi-fungsi sekolah yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah
diidentifikasi, analisis SWOT, langkah-langkah pemecahan persoalan, dan
penyusunan rencana dan program kerja tahunan sekolah. Berikut diuraikan secara
singkat mengenai perumusan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah (tujuan situasional
sekolah).
a. Visi
Setiap sekolah harus memiliki visi. Visi adalah wawasan yang menjadi sumber
arahan bagi sekolah dan digunakan untuk memandu perumusan misi sekolah. Dengan
kata lain, visi adalah pandangan jauh ke depan kemana sekolah akan dibawa. Visi
adalah gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah, agar sekolah yang
bersangkutan dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya.
Gambaran tersebut tentunya harus didasarkan pada
landasan yuridis, yaitu undang-undang pendidikan dan sejumlah peraturan
pemerintahnya, khususnya tujuan pendidikan nasional sesuai jenjang dan jenis
sekolahnya dan juga sesuai dengan profil sekolah yang bersangkutan. Dengan kata
lain, visi sekolah harus tetap dalam koridor kebijakan pendidikan nasional
tetapi sesuai dengan kebutuhan anak dan masyarakat yang dilayani. Tujuan
pendidikan nasional sama tetapi profil sekolah khususnya potensi dan kebutuhan
masyarakat yang dilayani sekolah tidak selalu sama. Oleh karena itu
dimungkinkan sekolah memiliki visi yang tidak sama dengan sekolah lain, asalkan
tidak keluar dari koridor nasional yaitu tujuan pendidikan nasional.
b. Misi
Misi adalah tindakan untuk mewujudkan/merealisasikan visi tersebut. Karena visi
harus mengakomodasi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah,
maka misi dapat juga diartikan sebagai tindakan untuk memenuhi kepentingan
masing-masing kelompok yang terkait dengan sekolah. Dalam merumuskan misi,
harus mempertimbangkan tugas pokok sekolah dan kelompok-kelompok kepentingan
yang terkait dengan sekolah. Dengan kata lain, misi adalah bentuk layanan untuk
memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya.
c. Tujuan
Bertolak dari visi dan misi, selanjutnya sekolah merumuskan tujuan.
Tujuan merupakan “apa” yang akan dicapai/dihasilkan oleh sekolah yang
bersangkutan dan “kapan” tujuan akan dicapai. Jika visi dan misi terkait dengan
jangka waktu yang panjang, maka tujuan dikaitkan dengan jangka waktu 3-5 tahun.
Dengan demikian tujuan pada dasarnya merupakan tahapan wujud sekolah menuju
visi yang telah dicanangkan.
Jika visi merupakan gambaran sekolah di masa depan secara utuh (ideal),
maka tujuan yang ingin di capai dalam jangka waktu 3 tahun mungkin belum se
ideal visi atau belum selengkap visi. Dengan kata lain, tujuan merupakan
tahapan untuk mencapai visi.
d. Sasaran/Tujuan Situasional
Setelah tujuan sekolah (tujuan jangka menengah) dirumuskan, maka langkah
selanjutnya adalah menetapkan sasaran/target/tujuan situasional/tujuan
jangka pendek. Sasaran adalah penjabaran tujuan, yaitu sesuatu yang akan
dihasilkan/dicapai oleh sekolah dalam jangka waktu lebih singkat dibandingkan
tujuan sekolah. Rumusan sasaran harus selalu mengandungpeningkatan, baik
peningkatan kualitas, efektivitas, produktivitas, maupun efisiensi (bisa salah
satu atau kombinasi). Agar sasaran dapat dicapai dengan efektif, maka sasaran
harus dibuat spesifik, terukur, jelas kriterianya, dan disertai
indikator-indikator yang rinci. Meskipun sasaran bersumber dari tujuan, namun
dalam penentuan sasaran yang mana dan berapa besar kecilnya sasaran, tetap
harus didasarkan atas tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah.
1) Mengidentifikasi Tantangan Nyata Sekolah
Pada tahap ini, sekolah melakukan analisis output sekolah yang hasilnya
berupa identifikasi tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah. Tantangan
adalah selisih (ketidaksesuaian) antara output sekolah saat ini dan output
sekolah yang diharapkan di masa yang akan datang (tujuan sekolah). Besar
kecilnya ketidaksesuaian antara output sekolah saat ini (kenyataan) dengan
output sekolah yang diharapkan (idealnya) di masa yang akan datang
memberitahukan besar kecilnya tantangan. Contoh tantangan kualitas: misalnya,
jika dalam tiga tahun ke dapan dicanangkan tujuanuntuk mencapai GSA sebesar +2,
sementara saat ini baru mencapai +0,4 berarti tantangan nyata yang dihadapi
sekolah adalah (+2)-(+0,4) = (+0,4). Misalnya lagi, juara lomba karya ilmiah
remaja sekolah saat ini berperingkat nomor 4 se kabupaten dan yang diharapkan
akan meningkat menjadi peringkat nomor 1, maka besarnya tantangan adalah 1-4
(-3), kurang 3. Contoh tantangan efektivitas: dari 300 siswa yang ikut UAN,
yang lulus 270 siswa, sehingga tantangannya adalah 30 siswa atau 10 persen
yaitu berasal dari 30 siswa dibagi 300 siswa.
Output sekolah saat ini dapat dengan mudah diidentifikasi, karena tersedia
datanya. Akan tetapi bagaimanakah caranya mengidentifikasi output sekolah yang
diharapkan, sehingga output yang diharapkan tersebut cukup realistis? Caranya,
perlu dilakukan analisis prakiraan (forecasting) lengkap dengan
asumsi-asumsinya untuk menemukan kecenderungan-kecenderungan yang diharapkan di
masa depan.
Pada umumnya, tantangan sekolah bersumber dari output sekolah yang dapat
dikategorikan menjadi empat, yaitu kualitas, produktivitas, efektivitas, dan
efisiensi.
Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa, yang
menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang
tersirat. Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksud adalah kualitas
output sekolah yang bersifat akademik (misal: NUAN dan LKIR) dan non-akademik
(misal: olah raga dan kesenian). Mutu output sekolah dipengaruhi oleh tingkat
kesiapan input dan proses persekolahan.
Produktivitas adalah
perbandingan antara output sekolah dibanding input sekolah. Baik output maupun
input sekolah adalah dalam bentuk kuantitas. Kuantitas input sekolah, misalnya
jumlah guru, modal sekolah, bahan, dan energi. Kuantitas output sekolah,
misalnya jumlah siswa yang lulus sekolah setiap tahunnya. Contoh produktivitas,
misalnya, jika tahun ini sebuah sekolah lebih banyak meluluskan siswanya dari
pada tahun lalu dengan input yang sama (jumlah guru, fasilitas, dsb.), maka
dapat dikatakan bahwa tahun ini sekolah tersebut lebih produktif dari pada
tahun sebelumnya.
Efektivitas adalah ukuran yang
menyatakan sejauhmana tujuan (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah dicapai.
Dalam bentuk persamaan, efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang
diharapkan. Misalnya, NUAN idealnya berjumlah 60, namun NUAN yang diperoleh
siswa hanya 45, maka efektivitasnya adalah 45:60 = 75%.
Efisiensi dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal.Efisiensi
internal menunjuk kepada hubungan antara output sekolah (pencapaian
prestasi belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk
memproses/menghasilkan output sekolah. Efisiensi internal sekolah biasanya
diukur dengan biaya-efektivitas. Setiap penilaian biaya-efektivitas
selalu memerlukan dua hal, yaitu penilaian ekonomik untuk mengukur biaya
masukan (input) dan penilaian hasil pembelajaran (prestasi belajar, lama
belajar, angka putus sekolah). Misalnya, jika dengan biaya yang sama, tetapi
NUAN tahun ini lebih baik dari pada NUAN tahun lalu, maka dapat dikatakan bahwa
tahun ini sekolah yang bersangkutan lebih efisien secara internal dari pada
tahun lalu. Efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang
digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual,
sosial, ekonomik, dan non-ekonomik) yang didapat setelah pada kurun waktu yang
panjang diluar sekolah. Analisis biaya-manfaat merupakan alat utama untuk
mengukur efisiensi eksternal. Misalnya, dua sekolah SMP 1 dan SMP 2 dengan
menggunakan biaya yang sama setiap tahunnya. Akan tetapi, lulusan SMP 1
mendapatkan upah yang lebih besar dari pada lulusan SMP 2 setelah mereka
bekerja. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa SMP 1 lebih efisien secara
eksternal dari pada SMP 2.
2) Merumuskan Sasaran (Tujuan Situasional)
Berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi sekolah,
maka dirumuskanlah sasaran/tujuan situasional yang akan dicapai oleh sekolah.
Meskipun sasaran dirumuskan berdasarkan atas tantangan nyata yang dihadapi oleh
sekolah, namun perumusan sasaran tersebut harus tetap mengacu pada visi, misi,
dan tujuan sekolah, karena visi, misi, dan tujuan sekolah merupakan sumber
pengertian (sumber referensi) bagi perumusan sasaran sekolah. Karena itu,
sebelum merumuskan sasaran sekolah yang akan dicapai, setiap sekolah harus
memiliki visi, misi, dan tujuan sekolah
Sasaran sebaiknya hanya untuk waktu yang relatif
pendek, misalnya untuk satu tahun ajaran. Dengan demikian sasaran (misalnya
untuk 1 tahun) pada dasarnya merupakan tahapan untuk mencapai tujuan jangka
menengah (misalnya untuk jangka 3 tahun). Ketika menentukan sasaran, prioritas
harus dipertimbangkan sungguh-sungguh. Jika tujuan yang telah dicanangkan
mencakup 5 aspek, apakah kelimanya akan digarap pada tahun pertama, atau hanya
beberapa saja. Hal itu sangat tergantung kondisi sekolah.
3. Mengidentifikasi
Fungsi-Fungsi yang Diperlukan untuk Mencapai Sasaran
Setelah sasaran
dipilih, maka langkah berikutnya adalah mengidentifikasi fungsi-fungsi yang
perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran dan yang masih perlu diteliti tingkat
kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud, misalnya, fungsi proses belajar
mengajar beserta fungsi-fungsi pendukungnya yaitu fungsi pengembangan
kurikulum, fungsi perencanaan dan evaluasi, fungsi ketenagaan, fungsi keuangan,
fungsi pelayanan kesiswaan, fungsi pengembangan iklim akademik sekolah, fungsi
hubungan sekolah-masyarakat, dan fungsi pengembangan fasilitas.
4. Melakukan Analisis
SWOT
Setelah fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk
mencapai sasaran diidentifikasi, maka langkah berikutnya adalah menentukan
tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength,
Weakness, Opportunity, and Threat).
Analisis SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali
tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan
untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui tingkat kesiapan
setiap fungsi dan faktor-faktornya dicapai melalui membandingkan faktor dalam
kondisi nyata dengan faktor dalam kriteria kesiapan. Yang dimaksud dengan
kriteria kesiapan faktor adalah faktor yang memenuhi kriteria/standar untuk
mencapai sasaran/tujuan situasional. Faktor yang memenuhi kriteria/standar ini
ditemukan melalui perhitungan-perhitungan atau pertimbangan-pertimbangan yang
bersumber pada pencapaian sasaran.
Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat
kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis
SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor
yang tergolong internal maupun eksternal. Faktor
internal adalah faktor-faktor pada setiap fungsi yang berada didalam kewenangan
sekolah. Sedangkan yang dimaksud faktor eksternal adalah faktor-faktor pada
setiap fungsi yang berada diluar kewenangan sekolah. Misalnya, fungsi proses
belajar mengajar terdiri dari banyak faktor, satu diantaranya perilaku mengajar
guru (faktor internal) dan satu lainnya kondisi lingkungan sosial masyarakat
(faktor eksternal). Perilaku mengajar guru digolongkan faktor internal karena
sekiranya perilaku tersebut perlu diubah, masih dalam kewenangan sekolah.
Sebaliknya, kondisi lingkungan sosial masyarakat digolongkan sebagai faktor
eksternal karena sekiranya kondisi tersebut ingin diubah, diluar kewenangan
sekolah.
Tingkat kesiapan harus memadai, artinya, minimal
memenuhi ukuran/kriteria kesiapan yang diperlukan untuk mencapai sasaran, yang
dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal; peluang,bagi
faktor yang tergolong eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai,
artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi
faktor yang tergolong internal; danancaman, bagi faktor yang tergolong
eksternal. Baik kelemahan maupun ancaman, sebagai faktor yang memiliki tingkat
kesiapan kurang memadai, disebut persoalan.
5. Alternatif Langkah
Pemecahan Persoalan
Dari hasil
analisis SWOT, maka langkah berikutnya adalah memilih langkah-langkah pemecahan
persoalan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah
fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan,
yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka sasaran yang telah
ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar sasaran tercapai, perlu
dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan
fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan
persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan
dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan
memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.
6. Menyusun Rencana dan
Program Peningkatan Mutu
Berdasarkan langkah-langkah
pemecahan persoalan tersebut, sekolah bersama-sama dengan semua unsur-unsurnya
membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, beserta
program-programnya untuk merealisasikan rencana tersebut. Sekolah tidak selalu
memiliki sumberdaya yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan bagi pelaksanaan
MBS, sehingga perlu dibuat skala prioritas untuk jangka pendek, menengah, dan
panjang.
Rencana yang dibuat harus menjelaskan secara detail
dan lugas tentang: aspek-aspek mutu yang ingin dicapai, kegiatan-kegiatan yang
harus dilakukan, siapa yang harus melaksanakan, kapan dan dimana dilaksanakan,
dan berapa biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut.
Hal ini diperlukan untuk memudahkan sekolah dalam menjelaskan dan memperoleh
dukungan dari pemerintah maupun dari orangtua siswa, baik dukungan pemikiran,
moral, material maupun finansial untuk melaksanakan rencana peningkatan mutu
pendidikan tersebut. Rencana yang dimaksud harus juga memuat rencana anggaran
biaya (rencana biaya) yang diperlukan untuk merealisasikan rencana sekolah.
Hal pokok yang perlu diperhatikan oleh sekolah dalam
penyusunan rencana adalah keterbukaan kepada semua pihak yang menjadi stakeholder
pendidikan, khususnya orangtua siswa dan masyarakat (BP3/Komite Sekolah) pada
umumnya. Dengan cara demikian akan diperoleh kejelasan, berapa kemampuan
sekolah dan pemerintah untuk menanggung biaya rencana ini, dan berapa sisanya
yang harus ditanggung oleh orangtua peserta didik dan masyarakat sekitar.
Dengan keterbukaan rencana ini, maka kemungkinan kesulitan memperoleh
sumberdana untuk melaksanakan rencana ini bisa dihindari.
Jika rencana adalah merupakan deskripsi hasil yang
diharapkan dan dapat digunakan untuk keperluan penyelenggaraan kegiatan
sekolah, maka program adalah alokasi sumberdaya (sumberdaya manusia dan
sumberdaya selebihnya, misalnya, uang, bahan, peralatan, perlengkapan,
perbekalan, dsb.) kedalam kegiatan-kegiatan, menurut jadwal waktu dan
menunjukkan tatalaksana yang sinkron. Dengan kata lain, program adalah bentuk
dokumen untuk menggambarkan langkah mewujudkan sinkronisasi dalam
ketatalaksanaan.
7. Melaksanakan
Rencana Peningkatan Mutu
Dalam melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan yang telah disetujui
bersama antara sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat, maka sekolah perlu
mengambil langkah proaktif untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan. Kepala sekolah dan guru hendaknya mendayagunakan sumberdaya
pendidikan yang tersedia semaksimal mungkin, menggunakan pengalaman-pengalaman
masa lalu yang dianggap efektif, dan menggunakan teori-teori yang terbukti
mampu meningkatkan kualitas pembelajaran. Kepala sekolah dan guru bebas
mengambil inisiatif dan kreatif dalam menjalankan program-program yang
diproyeksikan dapat mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Karena itu,
sekolah harus dapat membebaskan diri dari keterikatan-keterikatan birokratis
yang biasanya banyak menghambat penyelenggaraan pendidikan.
Dalam melaksanakan proses pembelajaran, sekolah hendaknya menerapkan konsep
belajar tuntas (mastery learning). Konsep ini menekankan pentingnya
siswa menguasai materi pelajaran secara utuh dan bertahap sebelum melanjutkan
ke pembelajaran topik-topik yang lain. Dengan demikian siswa dapat menguasai
suatu materi pelajaran secara tuntas sebagai prasyarat dan dasar yang kuat
untuk mempelajari tahapan pelajaran berikutnya yang lebih luas dan mendalam.
Untuk menghindari berbagai penyimpangan, kepala sekolah perlu melakukan
supervisi dan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan peningkatan mutu yang
dilakukan di sekolah. Kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin pendidikan di
sekolahnya berhak dan perlu memberikan arahan, bimbingan, dukungan, dan teguran
kepada guru dan tenaga lainnya jika ada kegiatan yang tidak sesuai dengan
jalur-jalur yang telah ditetapkan. Namun demikian, bimbingan dan arahan jangan
sampai membuat guru dan tenaga lainnya menjadi amat terkekang dalam
melaksanakan kegiatan, sehingga kegiatan tidak mencapai sasaran.
8. Melakukan
Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah
perlu mengadakan evaluasi pelaksanaan program, baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Evaluasi jangka pendek dilakukan setiap akhir catur wulan untuk mengetahui
keberhasilan program secara bertahap. Bilamana pada satu catur wulan dinilai
adanya faktor-faktor yang tidak mendukung, maka sekolah harus dapat memperbaiki
pelaksanaan program peningkatan mutu pada catur wulan berikutnya. Evaluasi
jangka menengah dilakukan pada setiap akhir tahun, untuk mengetahui seberapa
jauh program peningkatan mutu telah mencapai sasaran-sasaran mutu yang telah
ditetapkan sebelumnya. Dengan evaluasi ini akan diketahui kekuatan dan
kelemahan program untuk diperbaiki pada tahun-tahun berikutnya.
Dalam melaksanakan evaluasi, kepala sekolah harus
mengikutsertakan setiap unsur yang terlibat dalam program, khususnya guru dan
tenaga lainnya agar mereka dapat menjiwai setiap penilaian yang dilakukan dan
memberikan alternatif pemecahan. Demikian pula, orangtua peserta didik dan
masyarakat sebagai pihak eksternal harus dilibatkan untuk menilai keberhasilan
program yang telah dilaksanakan. Dengan demikian, sekolah mengetahui bagaimana
sudut pandang pihak luar bila dibandingkan dengan hasil penilaian internal.
Suatu hal yang bisa terjadi bahwa orangtua peserta didik dan masyarakat menilai
suatu program gagal atau kurang berhasil, walaupun pihak sekolah menganggapnya
cukup berhasil. Yang perlu disepakati adalah indikator apa saja yang perlu ditetapkan
sebelum penilaian dilakukan. Untuk lebih detailnya tentang monitoring dan
evaluasi MBS.
Hasil evaluasi pelaksanaan MBS perlu dibuat laporan
yang terdiri dari laporan teknis dan keuangan. Laporan teknis menyangkut
program pelaksanaan dan hasil MBS, sedang laporan keuangan meliputi penggunaan
uang serta pertanggungjawabannya. Jika sekolah melakukan upaya-upaya penambahan
pendapatan (income generating activities), maka pendapatan tambahan tersebut
harus juga dilaporkan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban (akuntabilitas), maka
laporan harus dikirim kepada Pengawas, Dinas Pendidikan Kabupaten, Komite
Sekolah, Orang Tua Siswa dan Yayasan (bagi sekolah swasta).
9. Merumuskan Sasaran
Mutu Baru
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, hasil evaluasi
berguna untuk dijadikan alat bagi perbaikan kinerja program yang akan datang.
Namun yang tidak kalah pentingnya, hasil evaluasi merupakan masukan bagi
sekolah dan orangtua peserta didik untuk merumuskan sasaran mutu baru untuk
tahun yang akan datang. Jika dianggap berhasil, sasaran mutu dapat ditingkatkan
sesuai dengan kemampuan sumberdaya yang tersedia. Jika
tidak, bisa saja sasaran mutu tetap seperti sediakala, namun dilakukan
perbaikan strategi dan mekanisme pelaksanaan kegiatan. Namun tidak tertutup
kemungkinan, bahwa sasaran mutu diturunkan, karena dianggap terlalu berat atau
tidak sepadan dengan sumberdaya pendidikan yang ada (tenaga, sarana dan
prasarana, dana) yang tersedia.
Setelah sasaran baru ditetapkan, kemudian dilakukan
analisis SWOT untuk mengetahui tingkat kesiapan masing-masing fungsi dalam
sekolah, sehingga dapat diketahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Dengan informasi ini, maka langkah-langkah pemecahan
persoalan segera dipilih untuk mengatasi faktor-faktor yang mengandung
persoalan. Setelah ini, rencana peningkatan mutu baru dapat dibuat. Demikian
seterusnya, caranya seperti urut-urutan nomor 2 s/d nomor 8 diatas.
E. Pengambilan Keputusan Partisipatif
Pengambilan keputusan partisipatif
merupakan salah satu konsep dasar dari Manajemen Berbasis sekolah. Adapun yang
dimaksud Pengambilan keputusan partisipatif menurut David (Slamet PH:
2000) adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan
yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orang
tua siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam
proses pengambilan keputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian
tujuan sekolah. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang
dilibatkan (berpartisipasi) dalam pengambilan keputusan, maka yang bersangkutan
akan ada "rasa memiliki" terhadap keputusan tersebut, sehingga yang
bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk
mencapai tujuan sekolah.
Esensi proses pengambilan keputusan partisipatif
(Cangemi, 1985) adalah untuk mencari "wilayah kesamaan" antara
kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (stakehorder) yaitu
kepala sekolah, guru, siswa, orangtua siswa, dan pemerintah/yayasan). Wilayah
kesamaan inilah yang menjadi modal dasar untuk menumbuhkan "rasa
memiliki" bagi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah dan
ini dapat dilakukan secara efektif melalui pelibatan semua kelompok kepentingan
dalam proses pengambilan keputusan.
Esensi konsep MBS adalah otonomi.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam
mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Jadi
otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga
sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang
berlaku.
Untuk mencapai otonomi sekolah,
diperlukan suatu proses yang disebut "desentralisasi". Desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan pendidikan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah, dari pemeritah Dati I ke Dati II, dari Dati II ke sekolah,
dan bahkan dari sekolah ke guru, tetapi harus tetap dalam kerangka pendidikan
nasional. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pendidikan yang diatur secara
"sentralistik" menghasilkan fenomena-fenomena seperti berikut: lamban
berubah/beradaptasi, bersifat kaku, normatif sekali orientasinya karena terlalu
banyaknya lapis-lapis birokrasi, tidak jarang birokrasi mengendalikan fungsi
dan bukan sebaliknya, uniformitas telah memasung kreativitas, dan tradisi serta
serimoni yang penuh kepalsuan sudah menjadi kebiasaan. Kecil itu indah, adalah
merupakan esensi desentralisasi.
Menurut Bailey (1991), organisasi yang
cakupan, pemerintahan, manajemen, dan ukurannya kecil, mudah beradaptasi.
Karena itu, desentralisasi bukan lagi merupakan hal penting untuk diterapkan,
tetapi sudah merupakan keharusan. Dengan desentralisasi, maka: (1)
fleksibilitas pengambilan keputusan sekolah akan tumbuh dan berkembang dengan
subur, sehingga keputusan dapat dibuat "sedekat" mungkin dengan
kebutuhan sekolah; (2) akuntabilitas/pertanggunggugatan terhadap masyarakat
(majelis sekolah, orangtua peserta didik, publik) dan pemerintah meningkat; dan
(3) kinerja sekolah akan meningkat (efektivitasnya, kualitasnya, efisiensinya,
produktivitasnya, inovasinya, provitabilitasnya, kualitas kehidupan kerjanya,
dan moralnya).
A. Strategi Pelaksanaan MBS yang Tepat
Guna Mewujudkan Keterlaksanaan MBS yang Bermutu
Dalam penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah perlu adanya strategi yang tepat. Strategi yang dapat ditempuh dalam
melaksanakan manajemen berbasis sekolah dengan baik menurut Slamet PH, (2000)
adalah:
Mensosialiasikan konsep manajemen
berbasis sekolah keseluruh warga sekolah, yaitu guru,siswa, wakil-wakil kepala
sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid,
pengawas, wakil kandep, wakil kanwil, dsb.) melalui seminar, diskusi, forum
ilmiah, dan media masa. Hendaknya dalam sosialisasi ini juga dibaca dan
dipahami sistem, budaya, dan sumber daya sekolah yang ada secermat-cermatnya
dan direfleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan sumber daya yang
dibutuhkan untuk penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah.
Melakukan analisis situasi sekolah dan
luar sekolah yang hasilnya berupa tantangan nyata yang harus dihadapi oleh
sekolah dalam rangka mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen
berbasis sekolah. Tantangan adalah selisih (ketidaksesuaian) antara keadaan sekarang
(manajemen berbasis pusat) dan keadaan yang diharapkan (manajemen berbasis
sekolah). Karena itu, besar kecilnya ketidaksesuaian antara keadaan sekarang
(kenyataan) dan keadaan yang diharapkan (idealnya) memberitahukan besar
kecilnya tantangan (loncatan).
Merumuskan tujuan situasional yang akan
dicapai dari pelaksanaan manajemen berbasis sekolah berdasarkan tantangan nyata
yang dihadapi (butir 2). Segera setelah tujuan situasional ditetapkan, kriteria
kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya ditetapkan. Kriteria inilah yang
akan digunakan sebagai standar atau kriteria untuk mengukur tingkat kesiapan
setiap fungsi dan faktor-faktornya.
Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang
perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti
tingkat kesiapannya. Untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan,
maka perlu diidentifikasi fungsi-fungsi mana yang perlu dilibatkan untuk
mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya.
Fungsi-fungsi yang dimaksud meliputi antara lain: pengembangan kurikulum,
pengembangan tenaga kependidikan dan nonkependidikan, pengembangan siswa,
pengembangan iklim akademik sekolah, pengembangan hubungan sekolah-masyarakat,
pengembangan fasilitas, dan fungsi-fungsi lain.
Menentukan tingkat kesiapan setiap
fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weaknes,
Opportunity, and Threat). Analisis SWOT dilakukan dengan maksud mengenali
tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai
tujuan situasional yang telah ditetapkan. Berhubung tingkat kesiapan fungsi
ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap
fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap
fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Tingkat kesiapan
harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan situasional, yang dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi faktor
yang tergolong internal; peluang, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal.
Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran
kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong faktor
internal; dan ancaman, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal.
Memilih langkah-langkah pemecahan
(peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi
yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama
artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka tujuan situasional yang telah
ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar tujuan situasional
tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi
kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah
pemecahan persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna
kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni
dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau
peluang.
Berdasarkan langkah-langkah pemecahan
persoalan tersebut, sekolah bersama-sama dengan semua unsur-unsurnya membuat
rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, beserta program-programnya
untuk merealisasikan rencana tersebut. Sekolah tidak selalu memiliki sumber
daya yang cukup untuk melaksanakan manajemen berbasis sekolah idealnya,
sehingga perlu dibuat sekala prioritas untuk rencana jangka pendek, menengah,
dan panjang.
Melaksanakan program-program untuk
merealisasikan rencana jangka pendek manajemen berbasis sekolah. Dalam pelaksanaan,
semua input yang diperlukan untuk berlangsungnya proses (pelaksanaan) manajemen
berbasis sekolah harus siap. Jika input tidak siap/tidak memadai, maka tujuan
situasional tidak akan tercapai. Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
adalah pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, dan pengelolaan proses
belajar mengajar.
Pemantauan terhadap proses dan evaluasi
terhadap hasil manajemen berbasis sekolah perlu dilakukan. Hasil pantauan
proses dapat digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan penyelenggaraan dan
hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan
situasional yang telah dirumuskan. Demikian kegiatan ini dilakukan secara
terus-menerus, sehingga proses dan hasil manajemen berbasis sekolah dapat
dioptimalkan.
Sembilan strategi pelaksanaan MBS
tersebut di atas akan dapat berjalan dengan baik apabila kepala sekolah dalam
kepemimpinannya mampu melaksanakan budaya pengambilan keputusan partisipatif.
B. Penerapan Budaya Pengambilan Keputusan
Partisipatif untuk Mewujudkan MBS yang Bermutu
Sebagaimana dikemukakan pada Landasan
Teori bahwa pengambilan keputusan partisipatif merupakan suatu cara untuk
mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik,
dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat)
didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang
akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Teknik pengambilan keputusan seperti ini
dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam
pengambilan keputusan, maka yang bersangkutan akan ada "rasa
memiliki" terhadap keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan juga
akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah.
Singkatnya: makin besar tingkat pertisipasi, makin besar pula rasa memiliki;
makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar
rasa tanggung jawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga
sekolah dalam pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian,
yurisdiksi, dan relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan sekolah.
Bagaimana menerapkan pengambilan
keputusan partisipatif? Menurut Cangemi (dalam Slamet PH: 2000), paling tidak
ada tiga pertanyaan yang harus dijawab oleh kepala sekolah sewaktu akan
menerapkan pengambilan keputusan partisipatif: (1) bagaimana cara menentukan,
dalam setiap kasus, apakah cocok dan produktif jika pengambilan keputusan
melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?; (2) kemudian, jika proses
pengambilan keputusan perlu melibatkan kelompok-kelompok kepentingan,
pertanyaan kedua adalah: bagian yang mana dari proses pengambilan keputusan
yang perlu melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?; (3) pertanyaan ketiga
adalah cara yang mana (apa) yang paling efektif untuk melibatkan mereka dalam
proses pengambilan keputusan?
Tentunya tidak semua wilayah (zona)
pengambilan keputusan harus melibatkan semua kelompok kepentingan. Ada
wilayah-wilayah yang memang merupakan hak prerogatif pimpinan untuk diputuskan
secara sendirian dan bawahan harus menerimanya tanpa syarat. Kalaupun pimpinan
melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, maka hal ini harus dipikirkan secara
mendalam dan terkontrol pelaksanaannya.
Ada empat petunjuk untuk mengidentifikasi
pengambilan keputusan yang harus melibatkan para kelompok kepentingan, yaitu
relevansi, kompetensi, yurisdiksi, dan kompatibilitas tujuan. Relevansi adalah
tingkat relevansinya. Sekiranya keputusan yang akan diambil relevan dengan
kebutuhan kelompok kepentingan tertentu (kelompok yang bakal terkena dampak
keputusan), maka pengambilan keputusan sebaiknya melibatkan kelompok
kepentingan tersebut. Kompetensi, adalah uji keahlian. Artinya, kelompok
kepentingan yang akan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, harus
memiliki sesuatu untuk dikontribusikan.
Mereka harus memiliki kompetensi untuk
ikut serta dalam memecahkan persoalan-persoalan yang terkait dengan
kepentingannya. Yurisdiksi mengandung pengertian bahwa sekolah didirikan untuk
menjalankan fungsinya melalui struktur-herarkis. Oleh karena itu, ada
batas-batas yurisdiksi yang memang tidak semua kelompok kepentingan harus
terlibat dalam pengambilan keputusan. Pelibatan yang tidak proporsional secara
yurisdiksi akan cenderung membuat frustasi dan kemarahan yang tidak berdasar.
Keempat, uji kompatibilitas tujuan. Apabila kompatibilitas tujuan dari semua
kelompok kepentingan diinginkan, maka pelibatan mereka dalam proses pengambilan
keputusan sangat diperlukan.
Untuk dapat menerapkan pengambilan keputusan
partispatif, ada beberapa model yang dapat digunakan, di antaranya:
1) Pemberitahuan
Di sini kepala sekolah mengambil keputusan secara sendirin. Dia tidak
mencari informasi dan tidak mencari nasehat dari orang lain. Dia mempercayakan
pada pengalamannya sendiri dan penelitiannya sendiri, dan semata-mata
mengumumkan keputusannya. Gaya ini cocok untuk keputusan-keputusan yang terletak
diluar zona kepedulian karyawan.
(2) Pengumpulan Informasi
Disini kepala sekolah menggunakan kelompok kepentingan tertentu hanya untuk
tujuan pengumpulan informasi (penelitian masalah). Partisipan tidak diundang
untuk datang bersama-sama dan bahkan tidak tahu siapa saja yang dimintai
informasi. Melalui pembicaraan telpon atau laporan tertulis, kepala sekolah
mencoba menarik kontribusi dari kelompok kepentingan tertentu agar supaya dapat
mengambil keputusan oleh dirinya sendiri. Gaya semacam ini hanya berlaku secara
terbatas untuk keputusan-keputusan marjinal diluar zona kepedulian karyawan.
(3) Pengumpulan Informasi dan Pembahasan
Di sini kepala sekolah berusaha mengumpulkan informasi dan memferifikasinya
dengan mengundang secara bersama-sama para kelompok kepentingan yang dapat
berkontribusi terhadap informasi awal yang telah dikumpulkan. Sewaktu informasi
ini dicek-silang dan diklarifikasi, kolegialitas antar kelompok kepentingan
tidak terlalu didorong/dimunculkan. Dari informasi cek-silang ini, kemudian
Kepala Sekolah akan menggunakannya untuk masukan bagi pengambilan keputusan
yang akan dilakukan oleh dirinya sendiri.
4) Pengumpulan Pendapat dan Pembahasan
Di sini kepala sekolah meminta bawahannya untuk menginterpretasi informasi
yang telah dibagi-bagikan kepada mereka. Dia memanfaatkan mereka untuk
menjelaskan makna data-data yang telah dibagi-bagikan keseluruh kelompok.
Pendapat-pendapat yang diusulkan mungkin beragam dan tidak bisa menghasilkan
saran-saran umum terhadap Kepala Sekolah untuk memecahkan persoalan. Lagi-lagi,
sepala sekolah mengambil keputusan oleh dirinya sendiri tetapi dalam hal ini
dia telah mendorong pertukaran pendapat secara bebas sewaktu dilakukan
cek-silang antar kelompok kepentingan. Kondisi ini cocok jika setiap kelompok
kepentingan dapat dipercaya untuk bagi-bagi pendapat dan memiliki keahlian yang
sesuai dengan keputusan yang akan diambil.
5) Debat, Dialog, dan Proteksi Ekuitas/Kesamaan
Dalam model ini, kepala sekolah tidak hanya mendorong pertukaran pendapat
secara bebas, tetapi juga untuk meyakinkan bahwa individu-individu yang
menawarkan pendapat harus berdebat untuk mempertahankan pendapatnya. Melalui
interaksi ini kemudian dilakukan penilaian terhadap pendapat-pendapat tersebut
sehingga ditemukan pendapat yang relatif lebih baik. Karena semua pendapat
harus dilontarkan, maka peran kepala sekolah adalah melindungi
pendapat-pendapat dari kelompok minoritas dan memberhentikan mereka yang telah
habis waktunya dalam curah/debat pendapat. Dalam peran ini, kepala sekolah
tetap akan mengambil keputusan oleh dirinya sendiri, namun dia akan dipengaruhi
secara signifikan oleh argumen-argumen yang disampaikan oleh para partisipan.
(6) Demokrasi
Model pengambilan keputusan semacam ini pada dasarnya menggunakan sistem
"voting". Kepala sekolah menyerahkan sebagian besar wewenang
pengambilan keputusannya, sehingga dia akan berpartisipasi dalam diskusi
tersebut dan dia akan memberikan suaranya melalui "voting", dan oleh
karena itu keputusan final akan ditentukan oleh suara mayoritas. Teknik ini
cocok untuk pengambilan keputusan yang kontroversial, dimana konsensus sukar
dicapai.
7) Konsensus
Di sini kepala sekolah mendorong munculnya pendapat-pendapat yang beragam
dan dia bertindak sebagai parlementarian untuk menjamin hak-hak yang sama dari
semua peserta yang terlibat dalam diskusi. Segera setelah kelompok diskusi
mengarah kepada kesepakatan, dia meringkasnya dan mengklarifikasi isu-isu
tersebut. Dia memimpin diskusi, tetapi dia tidak menempatkan pendapatnya di
atas peserta diskusi. Dia berusaha membawa kelompok diskusi kearah persetujuan
terhadap alternatif terbaik, yaitu alternatif yang dapat diterima oleh kelompok
secara keseluruhan. Ini tidak berarti bahwa setiap peserta akan puas secara
total terhadap keputusan, akan tetapi paling tidak setiap peserta seyogyanya
puas terhadap keputusan tersebut karena inilah keputusan terbaik yang dapat
dicapainya.
(8) Delegasi
Dalam kondisi-kondisi tertentu, suatu keputusan tidak harus ditangani oleh
kepala sekolah, karena keputusan tersebut tidak relevan baginya maupun bagi
sekolahnya. Dia tidak memiliki keahlian untuk berkontribusi dan karena itu dia
mendelegasikan keputusan kepada bawahannya (guru, konselor, BP3, dsb.). Dia
tidak berpartisipasi. Dia tidak mengganggu hasil akhir keputusan, namun bisa
saja dia merupakan salah seorang yang menunjukkan adanya permasalahan.